SIAPA yang tidak kenal dengan Peter A. Rohi? Wartawan senior asal NTT itu, memiliki segudang kisah menarik selama berkarya menjadi jurnalis. Dia sebenarnya adalah seorang marinir (KKO), yang pernah bergabung dalam pasukan amphibi dan ditugaskan ke beberapa medan laga.
10 Juni nanti, tepat setahun Opa Peter, demikian sering disapa, meninggal dunia. Ada banyak kisah menarik yang dengan bangganya dia sampaikan, mengenai suka duka menjadi peliput daerah konflik/perang, hingga berbagai masalah sosial. Dan kisah ini selalu menjadi inspirasi bagi siapapun, terutama bagi wartawana pemula. Karena, Om Peter menjadi inspirator mengenai idealisme, dan totalitas dalam berkarya sebagai jurnalis.
Salah satu yang paling menarik, adalah tentang pengalamannya dikirimi paket kepala manusia, dulu, ketika masih berusia 41 tahun. Kejadian itu, oleh Om Peter, ditulis terjadi pada 16 November 1983. Dalam salah satu tulisannya di Facebook, yang dipostingnya 20 Maret 2015, Om Peter mengisahkan hal itu. Ikuti kisahnya:
Kekejaman manusia terjadi dirasakan saya dan keluarga ketika dikirimi paket berisi kepala manusia, 16 November 1983, dua hari setelah ulang tahun saya ke 41. Laporan wartawan dikirimi paket kepala manusia ini masuk dalam laporan Hak Asasi Manusia Internasional tentang pers dimana negara masih menindas pers. Saat itu saya sebagai Redaktur Palaksana Harian SUARA INDONESIA, Malang, sebuah anak perusahaan Sinar Harapan.
Soeharto menurut pengakuannya kemudian dalam biografinya, bahwa dia memerintahkan pembunuhan misterius sebagai schockteraphy untuk menekan para preman yang makin merajalela ketika itu.
Dalam sekejap, instruksi Soeharto itu bersambut. Mayat di dalam karung ditemukan di mana-mana. Sepanjang jalan dan tepi kali Brantas karung-karung berisi mayat yang diyakini sebagai mayat preman bertato, di jurang Bondowoso, di piket nol Semeru Selatan, mayat-mayat bergelimpangan, sebagian tanpa identitas.
Laporan yang masuk dari koresponden, setelah saya melakukan recheck ternyata tidak semua korban adalah preman.
Suatu malam seorang juara tinju nasional, Johny Mangi ditembak secara misterius. Johny adalah anak bungsu Jaan Mangi Ratu, orang Sabu peraih medali emas dalam Dasa Lomba pada PON I di Solo 1946. Tak itu saja, ada petani aktivis, ada perawat, ada saingan kepala desa ditemukan menjadi mayat dalam karung. Seorang pengacara asal pulau Alor dan saudaranya pensiunan marinir tidak ditemukan bersama mobil dan seluruh penumpang.
Saya mengeluarkan surat pada semua koresponden saya untuk mencatat identitas korban PETRUS (Penembakan misterius). Itulah yang dianggap sebagai MELAWAN PARA PENEMBAK MISTERIUS, maka aktivitas saya harus dihentikan. Lalu dikirimilah paket kepala manusia dalam kantong plastik dimasukkan di sebuah box kardus.
Saya tidak membela preman, tetapi setiap warga negara berhak akan diadili secara hukum dan mendapat pembelaan. Berita pengiriman paket kepala manusia ini mendapat reaksi keras dari dunia internasional. Saya diwawancarai wartawan dari Eropa, Ketua IGGI datang dari Belanda minta pada Jend. Beny Moerdani (Kopkamptib) jaminan keamanan bagi diri saya.
Ibu Martha Meyer dari Amnesti Internasional di Negeri Belanda mengusahakan saya untuk keluar dari Indonesia untuk sementara waktu sebagai wartawan yg mendapat tugas belajar ke AS. Tapi saya tidak berangkat. Saya memilih tetap di Indonesia, terus menulis dan berjuang sampai akhirnya Soeharto menghentikan operasi PETRUS di Tanah Air. (*/PAR/MSC)