Kupang (MEDIATOR)–Guru Besar Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Prof. Dr. Aloysius Liliweri, M.S menyebutkan pendatang baru di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Nusa Tenggara Timur 2024 berhadapan dengan kader parpol yang sudah malang melintang di politik. Terutama pendatang baru yang berasal dari lembaga non politik. Pasalnya, elektabilitas seseorang belum tentu sama dengan popularitas orang tersebut saat berada di lembaga sebelumnya.
“Politik ini kan permainan judi, gambling (political gambling), jadi menang atau kalah, mainnya beda sekali ketika mereka (pendatang baru) ada di lembaga yang non politik,”katanya di Kupang, pekan kemarin.
Guru besar dari Univesitas Nusa Cendana (Undana) Kupang ini mencontohkan, sejumlah politisi NTT sudah ada track record politiknya seperti Ketua DPD PDI Perjuangan Emilia Nomleni, Ketua DPD Partai Golkar Melkiades Laka Lena, dan Yohanes Fransiskus Lema yang merupakan orang dalam PDIP, serta Ince Sayuna yang juga kader Golkar. Di Partai Gerindra ada kader Fary Francis dan Gabriel Beri Bina.
Berbeda dengan bakal calon gubernur lainnya yang belum masuk dunia politik, meskipun memiliki track record yang baik di institusi sebelumnya.
Untuk itu, siapapun calonnya, menurut Profesor Alo, tidak boleh begitu mau calon gubernur, bupati atau wali kota, barulah dia tampil atau ditampilkan. Melainkan harus memanfaatkan setiap momentum untuk pertimbangan elektabilitas,
“Itu sangat riskan. Jadi ini kita punya orang mengenal orang itu mendadak,” ujarnya seperti dikutip LintasNTT.com.
Hal lain ialah para politisi itu adalah pimpinan parpol di daerah. Jika pimpinan tertinggi parpol mengusung kader di pemilihan gubernur, bupati dan wali kota, peluang terbesar ada di para kader parpol tersebut.
“Yang lain masih cari rumah untuk pintu masuk. Bahwa nanti di dalam satu partai itu keluar dua tiga orang, itu sudah urusan internal mereka, pasti akan keluar yang terbaik,” ujarnya.
Menurutnya, saat ini para bakal calon kepala daerah, sedang berhadapan dengan soal pilihan politik dan mesti ada pintu. Bahwa nanti di dalam rumah (parpol) itu mereka saling bergeser satu sama lain, bukan soal, tetapi mereka ada rumah politik.
Lain hal, jika hasil survei elektabiltas menempatkan kader parpol berada di urutan terendah jika dibandingkan elektabilitas para pendatang baru, tentu parpol akan mengusung pendatang baru.
“Kalau dia merasa survei tidak kuat, barulah diambil dari luar,” jelasnya.
Dia menambahkan, banyak contoh para politisi setelah turun dari jabatannya, tidak terpilih saat bertarung untuk merebut jabatan di institusi yang lain, seperti para kepala daerah yang menjadi calon anggota legislatif. Banyak yang tidak terpilih sebagai anggota dewan.
Menurut Profesor Alo, kontestan pilkada hanya beberapa pasangan, dibandingkan para calon anggota legislatif yang mencapai ratusan orang, pemilih harus memilih satu orang yang terbaik di antara ratusan orang tersebut.
“Jadi saya selalu bilang, tidak ada korelasi antara jumlah suara yang pilih kita di DPR dengan jumlah yang akan itu akan ditranfer pilih gubernur,”tandasnya.
Adapun sejumlah nama bakal calon gubernur yang bukan berasal dari orang dalam parpol seperti Mantan Kapolda NTT Irjen (Purn) Drs. Johni Asadoma, M.Hum. Namun, setelah meletakan jabatan sejak Februari 2024, Johni langsung bergabung dengan Partai Gerindra. Selain Gerindra, Johni juga sudah mendaftar di PSI dan PAN.
Calon lain yang disebut-sebut maju calon gubernur yakni Kasrem Korem 161/Wira Sakti Kupang, Kolonel (Cpl) Simon Petrus Kamlasi. Penelusuran media ini, Simon tak bisa dianggap sepele karena pergerakannya sangat masif, dan selalu aktif melakukan aksi sosial di lapangan. Bahkan simon yang kerab disapa SPK ini, sudah sejak 2013 lalu berada di tengah masyarakat NTT, menggebrak melalui program TNI Manunggal Air, dan sudah membangun ratusan sumur bor serta pompa hidram baik itu di daratan Timor, Sumba, Flores maupun pulau-pulau kecil lainnya.
Tak hanya itu, SPK sangat menjunjung tinggi tradisional dan budaya NTT, ini dibuktikan dengan dia membangun patung Presiden RI ke 7, Joko Widodo di puncak gunung Sunu, TTS. Alasannya, Jokowi mengenakan pakaian adat Amanatun-TTS, sehingga sebagai wujud kagum dan bangga, serta bagian dari upaya melestarikan nilai adat dan budaya, maka dibangunlah patung Jokowi berpakaian adat TTS itu.
Masih menurut Prof Alo, pasangan calon gubernur NTT 2024 cenderung mengikuti koalisi yang sama seperti pemilihan presiden atau hanya dua pasangan calon, namun menurut dia, pasangan calon gubernur NTT berpotensi tiga pasangan.
“Kelihatannya koalisi itu dari atas ke bawah mau dipertahankan. mengikuti pilpres, bahwa nanti ada silang-silang okelah, banyak yang berpikir head to head, tetapi paling tiga (pasangan),” ujarnya. (**/LIN/BOY)