DOB Amanatun dan Amanuban: Terlalu Dini kah?

Opini66 Dilihat

Oleh: Tian Liufeto
Anak TTS, Tinggal di Kupang
Wacana pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Amanatun dan Amanuban mulai digaungkan. Biasanya wacana ini lahir pada momen dan kontestasi politik. Menariknya, wacana ini bergulir setelah berakhirnya momen politik dan seolah kontestasinya menjadi berubah dan terbawa pada siapa pihak yang akan mendukung dan tidak untuk menangkap peluang DOB dimaksud. Para legislator dan kepala daerah yang baru secara perdana menjalankan tugas dan pelayanan, seolah dihadapkan dan diseret pada isu mengejar ketertinggalan dan kesejahteraan wilayah hanya melalui DOB. Sebagai anak TTS yang turut mengikuti dinamika sosial di lapangan, pantas untuk direnungkan : apakah wacana ini terlalu dini, apalagi jika ditinjau dari kesiapan sosial masyarakat secara menyeluruh ?
Review Narasi DOB Pada Kesiapan Sosial Masyarakat
Pemekaran daerah memang kerap dibungkus dengan narasi kesejahteraan, pelayanan publik yang lebih dekat, dan peluang ekonomi. Tetapi sejarah telah mengajarkan kita bahwa keberhasilan DOB bukan semata ditentukan oleh peta wilayah atau pernyataan elite politik. Kuncinya ada pada kesiapan sosial masyarakat dan inilah aspek yang perlu kembali di review dalam pengusulan DOB Amanatun dan Amanuban.
Kesiapan sosial bukan hanya dinilai dari hasil diskusi segelintir tokoh masyarakat, tetapi harus mencerminkan pemahaman dan keterlibatan aktif masyarakat luas—baik di desa, kampung, maupun kecamatan, misalnya pasca usulan DOB Amanatun yang pernah dilakukan pada tahun 2014 yang lalu. Banyak masyarakat yang belum mengikuti dan memahami secara utuh makna dari DOB, apalagi implikasinya terhadap kehidupan mereka sehari-hari. Apakah akan lebih mudah mengakses layanan kesehatan? Apakah pendidikan akan membaik? Atau justru akan ada beban pajak dan administrasi baru yang belum dipahami?
Narasi DOB Tidak Boleh Lahir dari Dorongan Emosional Identitas
Di sisi lain, belum terlihat adanya kajian partisipatif yang benar-benar mengungkap kondisi sosial budaya masyarakat pasca-pemekaran. Apakah masyarakat sudah cukup siap menghadapi kemungkinan perubahan relasi sosial, konflik batas wilayah, atau bahkan kompetisi antar kelompok dalam perebutan sumber daya baru? Hal-hal ini tidak akan terjawab hanya dengan survei yang terbatas atau pertemuan elite di ruang rapat.
Sering kali, masyarakat hanya menjadi objek yang diatasnamakan. Padahal, keberhasilan DOB sangat bergantung pada kapasitas sosial masyarakat: solidaritas, kepercayaan antarkelompok, kemampuan beradaptasi dengan sistem pemerintahan baru, hingga kejelasan identitas dan arah pembangunan.
Ada pepatah yang mengatakan : “Don’t cross the bridge until you come to it.” Jangan terburu-buru menyeberangi jembatan sebelum benar-benar siap. Pemekaran tidak boleh dilakukan hanya karena alasan politik atau dorongan emosional identitas. Ia harus lahir dari kesiapan riil, dari bawah ke atas, bukan dari atas ke bawah.
Narasi DOB Butuh Kajian Sosial Yang Inklusif
Karena itu, sebelum DOB Amanatun dan Amanuban diwujudkan, diperlukan kajian sosial yang lebih inklusif dan mendalam. Libatkan lebih banyak elemen masyarakat, terutama kelompok perempuan, pemuda, pelaku ekonomi lokal, dan komunitas adat. Lakukan dialog lintas sektor dan evaluasi keterjangkauan layanan dasar barulah kita bisa menilai, apakah jembatan itu benar-benar sudah bisa diseberangi. Jika tidak, kita hanya sedang membangun rumah di atas fondasi yang rapuh.
Berbagai usulan DOB yang ada tentu memiliki kekuatan tersendiri, namun kita juga patut mempertimbangkan lebih lanjut kedalaman dari langkah awal usulan DOB yang ada yang berbasis pada kesiapan sosial yang mendalam. ***

Baca Juga  Menanti Gebrakan Penjabat Wali Kota Kupang Atasi Masalah Sampah

Posting Terkait

Jangan Lewatkan