WAIRASA-Yeheskiel Dangi Lodja, adalah sosok kreatif dibalik kemegahan Wairasa hari ini. Benar. Dulu Wairasa hanyalah sebuah desa dengan cek dam yang terlantar tak diurus. Kolam raksasa yang terletak di jantung kota ini adalah jalur utama trans Sumba. Ketika Anda hendak dari Tambolaka, Waikabubak dan Anakalang menuju ke Waingapu, Wairasa adalah sebuah desa yang harus disinggahi. Apalagi jika hendak ke pusat perkantoran dan rumah jabatan Bupati Sumba Tengah, maka cek dam Wairasa akan terlihat sebagai sebuah tempat pemancingan liar yang banyak semak dan dipenuhi hewan liar.
Semua itu adalah masa lalu. Sangat berbeda wajah kota ketika berada pada tangan orang yang kreatif. Wairasa yang kotor, gelap dan terlantar adalah cerita masa lalu. Yeheskiel Dangi Lodja, setelah terpilih menjadi kepala desa belum lama ini, bergerak cepat menjadikan desanya sebagai sebuah destinasi wisata yang elok.
Wairasa direkomendasikan menjadi salah satu desa di Kecamatan Umbu Ratu Nggay Barat, sebagai peserta Festival Desa Binaan Bank NTT dan Festival PAD 2022. Sumba Tengah menirim lima desa tahun ini. Dan, pada Senin (25/7), Wairasa diatangi Stenly Boymau yang adalah juri kegiatan yang diprakarsai oleh Bank NTT ini.
Saat berkunjung, Stenly bersama Lavny Manesi yang adalah staf pendamping dari Direktorat Kredit Bank NTT, dipandu oleh Yusuf Mawolu, Pjs Pimpinan Kantor Bank NTT Cabang Anakalang.
Sebuah daratan di sisi utara cek dam Wairasa, dulunya hanyalah sebuah tempat mengikat ternak serta tempat nongkrong. Kini sudah berdiri sebuah tempat perhentian berukuran besar. Sekitar 7 X 9 meter, rumah itu dibangun secara gotong royong oleh masyarakat setempat. Rumput ilalang sebagai atap diambil dari desa.
Didalam rumah ada sebuah bilik berukuran 3 X 3 M, rupanya itulah dapur umum, tempat menyiapkan makanan dan minuman bagi setiap tamu yang datang. Terutama tamu cek dam yang mau ngopi dan menikmati snack pangan lokal. Ada juga sebuah bangku panjang terbuat dari bambu.
Sementara di sisi lainnya, sengaja digantung sekira 10 lembar kain tenun khas Sumba Tengah dengan warna menyolok, begitu pula beberapa tas pinggang tempat menaruh sirih pinang, juga digantung di sebelahnya. Belasan warga sementara bergotong royong memberesi sisa-sisa pekerjaan seperti pagar dan sebagainya. Ada laki-laki, juga perempuan dan remaja.
Inilah Lopo Di@ Bisa Bank NTT milik Desa Wairasa yang dikelola warga setempat.
Daratan yang bentuknya mirip Pulau Sumba ini ditasnya dibangun dua buah lopo berukuran sedang, bisa menampung 4-5 orang warga diatasnya, yang mau menikmati pemandangan cek dam dan pejalan kaki pada trans Sumba. Di waktu pagi atau petang, tak sedikit pejalan kaki yang melalui jalur ini, mereka diantaranya pelajar maupun warga yang baru pulang dari kebun sembari menjunjung aneka hasil.
Sementara di sekeliling cek dam yang airnya sudah mulai turun hingga sepinggang orang dewasa itu, berjejer puluhan warga yang sedang menikmati aktivitas pemancingan. Bertahun-tahun pemancing selalu menanti moment ini, menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk sebuah sensasi memancing.
“Kami mulai membenahi kolam ujung ini dengan menyediakan bangunan dan juga pintu masuk untuk mengontrol warga yang mau memancing,”jelas Yeheskiel membuka diskusi, ketika juri tiba disana. Gerbang ini dibangun dengan menggunakan bahan dasar bambu, ikonik karena bentuknya setengah lingkaran, seluruhnya dari bambu, lalu atapnya ilalang.
“ Kami mulai buka dua hari terakhir, dan animo masyarakat sangat tinggi. Satu stik pancing kami pinjamkan senilai Rp. 50 ribu, silahkan pancing sepuasnya dan ikan-ikan yang didapat, dibawa pulang, dan dari sewa alat pancing inilah kami dari pemerintah desa tarik sebagai pemasukan,”ujar Yeheskiel. Di hari pertama saja mereka sudah memanen hampir Rp. 10 juta.
Warga senang dengan destinasi ini, karena selain ongkos pancing yang murah, seluruh ikannya boleh dibawa pulang. Harga ikan air tawar disana Rp 60.000 per kilogram, sedangkan saat mancing, seseorang bisa menghasilkan lima kilogram bahkan lebih.
“Bank NTT hadir dengan teori kolaborasi. Jadi kita bersama-sama dengan warga, membangun Lopo Di@ Bisa ini. Seluruh bahan dasarnya berasal dari desa, dan kita memotivasi mereka untuk bergotong royong, misalnya kalau ada yang punya ilalang silahkan menyumbang, begitu pula kayu dan sebagainya,”jelas Yusuf Mawolu yang belum setahun bertugas disana.
Yusuf yang mudah bergaul ini pun langsung diterima di tengah-tengah komunitas penduduk warga Wairasa. Ide-idenya yang cemerlang, menghadirkan Lopo Di@ Bisa Wairasa kini menjadi terang benderang. Tanjung yang dulunya menjadi tempat liar, kini sudah dihiasi lampu aneka warna dan tempat untuk berkaraoke ria sambil menemani warga yang terus memancing hingga larut.
“Lopo Di@ Bisa ini adalah pusat aktivitas warga desa. Syukurlah mereka punya kepala desa yang kreatif dan semangat sehingga dengan potensi-potensi yang ada, kita mulai benahi perlah-lahan. Di Lopo inilah mereka melakukan berbagai aktivitas seperti tempat sewa alat mancing serta penjualan aneka tenunan,”tutur Yusuf menambahkan, Bank NTT akan membantu dengan penataan area parkir sehingga kedepan pendapatan asli desa tidak hanya semata berasal dari persewaan alat mancing melainkan parkir dan aneka jualan.
Stenly Boymau, yang dilibatkan dalam penjurian dalam kapasitasnya sebagai media consulting Bank NTT saat itu menyambut baik kreativitas dan inovasi dari pemerintah desa setempat yang sukses berkolaborasi dengan Bank NTT.
“Ini adalah sebuah terobosan yang baik dalam kolaborasi membangun sebuah daerah, karena pemerintah desa tidak bekerja sendiri dalam optimalisasi potensi desa melainkan mampu membangun kerjasama dengan pihak lain, Bank NTT salah satunya. Budaya gotong royong pun dimaksimalkan sehingga tidak mengeluarkan anggaran yang banyak,”tegas mantan Pemred salah satu koran Jawa Pos Group di Indonesia Timur ini.
Ada catatan-catatan penting yang diberikannya yakni pemerintah desa harus segera memikirkan pengembangan kawasan ini sehingga tidak semata pemancingan yang menjadi unggulan karena di musim kemarau nanti, air kolam akan kering dan lokasi ini kembali menjadi berantakan. (ktr1/tim/BOY)