AIMOLI, adalah sebuah nama desa di Kecamatan Alor Barat Laut, Kabupaten Alor. Secara umum, orang menyebutnya sebagai Alor kecil. Berada di paling barat pulau Alor, Aimoli kian terpencil karena hampir 75 persen kondisi jalannya rusak. Ada aspal, namun sudah berlubang sini sana, sehingga sertiap pengendara yang kesana harus ekstra hati-hati. Desa ini adalah salah satu dari 19 desa dan kelurahan di Alor Kecil yang terkenal karena beberapa hasil pertanian seperti sukun, kelapa, pisang dan beberapa tanaman holtikultura.
Kamis (17/6/2021) petang, dalam perjalanan menuju ke lokasi penginapan di Sebanjar, saya diajak Pimpinan Cabang Bank NTT Kalabahi, Jeffrey Corputty dan sejumlah staf untuk sejenak mampir ke Aimoli. Testimoni mereka, Aimoli memiliki keindahan pantai yang tiada taranya. “Sepintas kita lihat, pantainya seperti Walakiri di Sumba. Namun ini di Alor. Sangat cantik pantainya, ada bakau, dan laut yang dangkal,”tegas Jeffrey Corputty yang sejak beberapa hari sebelumnya tak pernah jemu mempromosikan Alor kepada saya.
Memang, Alor sangat kaya akan potensi wisata. Jumlah destinasi disana, tak dapat dihitung lagi. Baik itu panorama alam bawah laut maupun pantai yang indah. Alor juga punya sejumlah lokasi wisata tradisional. Seperti kampung adat, pesta adat, dan juga festival adat lainnya. Dan selalu mengundang ribuan penunjung.
Kembali ke Aimoli. Kami memilih destinasi ini setelah menyinggahi dua pulau dengan menggunakan perahu berkapasitas kurang lebih 1 ton. Yakni Pulau Ternate dan Pulau Pantar. Duduk di buritan adalah pilihan paling baik untuk menikmati jernihnya laut. Terumbu karang dan aneka jenis ikan yang menari di lautan dangkal, menambah serunya perjalanan kami. Putri sulung saya, Michaella, sangat menikmatinya. Beberapa kali dia diajak snorkeling di ujung Ternate. Taman laut yang elok, seolah membuat hati kecil bergolak tak mau berpindah lokasi.
Setibanya di Sebanjar, sekira pukul 15.10 Wita, kami beristirahat sejenak kemudian beranjak ke Aimoli. Mengendarai Inova Reborn, kami perlahan menuju ke lokasi. Sebelumnya, saya sudah ditunjukkan sebuah foto dengan objek pantai lengkap dengan pohon bakau yang tumbuh di dalam laut. Sejenak saya terkesima, kaget, karena sangat mirip dengan bakau yang tumbuh di Walakiri, Sumba. Namun mereka meyakinkan saya, ini di Alor. Aimoli.
Kian penasaran, mobil yang saya tumpangi perlahan dikebut kencang. Karena waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 Wita. Sebentar lagi matahari akan tenggelam, sedangkan perjalanan masih jauh. Jalan sempit dan berlubang, menjadi kendala serius bagi kami. Tak lama, Om Olen demikian kami sapa, membelokkan mobil ke arah kiri. Tepat di ujung sebuah pagar permanen.
Rupanya kami telah tiba.
Pantai Aimoli adalah sebuah destinasi wisata yang belum disentuh. Satu-satunya fasilitas yang tersedia hanyalah pagar permanen. Rupanya sang pemilik lahan melindungi lahannya dari abrasi. Kami lalu berjalan menyusuri setapak, sesekali melalui pagar, lalu loncat ke kawasan pantai.
Pantai Aimoli tidak berpasir, melainkan hamparan sekira satu kilometer itu adalah bebatuan kerikil hitam, merah dan putih. Pantainya landai, di beberapa titik tidak bisa dilewati karena dipadati bakau dan pagar yang berada tepat di pasang tertinggi. Setelah berjalan hampir 300 meter, kami pun tiba di spot terbaik pantai Aimoli. Kami pun duduk di atas pagar batu yang sudah roboh karena abrasi, ada teman yang memilih duduk di atas dua batang kayu berukuran besar.
Disana sudah ada sekira belasan orang. Mereka berada pada posisinya masing-masing, sambil juru foto tak hentinya memotret. Tepat pukul 17.30 Wita, matahari berangsur tenggelam. Warnanya dari putih terang berangsur ke merah. Tak sedetikpun kami sia-siakan momen yang amat mahal ini.
Spot yang kami tempati adalah yang terbaik. Di lokasi yang dalam, tumbuh lima batang bakau yang sudah cukup tua. Bentuknya yang unik, dengan batang berkelok dan sedikit daun di ujung, membuatnya ibarat bonsai yang tumbuh di laut. Matahari mulai terbenam, dan kami menyaksikannya dari celah bakau yang berjejer. Kami termasuk orang yang paling beruntung, karena petang itu, kami melihat matahari terbenam dengan sangat telanjang. Tidak ada satupun awan. Matahari benar-benar ‘tenggelam’ di laut, memancarkan panorama yang sangat indah. Kecantikannya ibarat bibir gadis yang merah merona. Aimoli, hati ini tergetar menyebut nama itu. Ada kerinduan yang amat, ingin kesana lagi. (stenly boymau)