Setelah evakuasi hari pertama sukses, dilanjutkan dengan evakuasi hari kedua dan selanjutnya. Ribuan orang menanti penuh harap di Pelabuhan Tanjung Lontar Tenau Kupang. Dari pagi hingga malam, warga berjejal disana hingga polisi harus memasang pagar betis. Pada hari kedua, tim SAR mulai menemukan penumpang. Namun banyak yang sudah dalam kondisi tak bernyawa. Ikuti kisah liputan Stenly Boymau dengan KRI Tongkol 813.
Setibanya kami di dermaga Tanjung Lontar Tenau-Kupang, Kamis, 1 Februari 2006, siang, disana sudah ada hampir seluruh Muspida (kini Forkopimda) yang datang. Nampak Gubernur NTT Piet A Tallo, Wagub Frans Lebu Raya. Danrem Kolonel Noch Bolla, Kapolda Brigjen Robertus Bellarminus Sadarum, Walikota Kupang S.K Lerik, didampingi Sekkot Jonas Salean, Kapolresta, AKBP Agus Nugroho. Dan masih banyak lagi pejabat. Mereka basah kuyup oleh hujan dan badai. Untuk diketahui, operasi penyelamatan saat itu dibawah kendali Asisten Operasi Lantamal IX-Kupang, Kolonel (Laut) FX Agus Susilo selaku Koordinator Tim SAR.
Satu persatu penumpang selamat mulai diturunkan dari KRI Tongkol dan KRI Pandrong. Mereka dipakaikan selimut oleh para marinir, ada yang harus ditandu karena sakit. Tubuhnya tidak mampu bertahan lama dalam air, sehingga diserang radang sendi dan penyakit bawaan lainnya. Hingga di darat pun, saya masih terus menerima banyak SMS dari keluarga penumpang serta sahabat yang tau saya ikut bersama tim evakuasi. Mereka mengirimkan nama-nama anggota keluarga, dan meminta tolong saya mengeceknya ke penumpang yang selamat. Apakah nama-nama ini ada ataukah tidak. Kebanyakan tidak ada.
Beberapa kali, saya menerima SMS dari Om Yustin Herman, beliau Direktur Radar pada Jawa Pos. Adik bungsunya ikut dalam kapal naas itu. Saya menjawabnya berat. “Adik, tolong cek Adi Papa disitu. Ada info tolong kasi kabar Om eee…” Demikian bunyi SMS itu. Saya pun membantu mereka mengecek ke beberapa sumber informasi, pendataan penumpang yang selamat.
Karena banyaknya pertanyaan, saya sampai kelabakan. Berat, karena harus memberi kepastian pada mereka, apakah keluarganya masih hidup atau tidak. Dengan berat hati, beberapa pertanyaan saya jawab formalitas. Jawab saya, tidak ada, dan mungkin ada di kapal yang satu.
Sementara dari laut, tidak hanya KRI Tongkol dan Pandrong saja yang bergabung dalam tim SAR untuk aksi penyelamatan melainkan beberapa kapal perang pun didatangkan. Ada KRI Warakas. Mereka diberi rute dan titik koordinat, lalu menyebar. Untuk diketahui, bahwa pada operasi hari pertama, kedua kapal perang (KRI Tongkol dan KRI Pandrong) menemukan 110 penumpang. Saat itu, mereka dalam kondisi kritis, berupaya selamat dengan bantuan jeriken, batang kayu, serta pelampung dan beberapa alat bantu lainnya.
Di hari kedua, nyaris tak ada badai lagi. Langit pun sudah cerah. Sehingga mempermudah proses pencarian. Di hari kedua itulah, ditemukannya banyak korban lagi. Mereka ada yang selamat karena terseret arus ke Semau, ada yang ke Rote. Bahkan banyak yang tewas, terseret arus ke Mulut Kumbang, Semau.
Belasan bahkan puluhan ambulance disiagakan di dermaga. Hampir seluruh ambulance dan mobil jenazah di Kota Kupang, dikerahkan ke Tenau. Dan, seluruhnya terisi. Bahkan dalam satu mobil jenazah, berisi satu hingga dua jenazah. Seluruhnya dilarikan ke RSUD Prof W.Z Johannes Kupang. Yang selamat dilarikan ke IGD, sedangkan yang meninggal, langsung ke kamar jenazah.
Saat itu, kamar jenazah sangat penuh. Mayat yang masih utuh maupun yang sudah nyaris rusak pun ditaruh di sana. Freezer sudah tak kuat menampung, sehingga ada jenazah yang hanya dijejer pada lantai yang sudah beralaskan terpal. Panjang, malah sampai ke ruang lorong menuju ruang rawat.
Jumlahnya ratusan mayat. Hanya saja, atas koordinasi lintas sektor, sehingga jenazah-jenazah itu tidak sampai berlama-lama disana. Sebagian yang sudah teridentifiksasi diambil keluarganya, sedangkan bagi yang tak beridentitas, dimakamkan ke TPU Fatukoa oleh Dinas Sosial NTT.
Tak hanya di dermaga, melainkan di kamar jenazah pun padat dengan masyarakat yang mau menjemput jenazah keluarga. Hingga hari ke-10, warga masih berdatangan, lagipula tim SAR baru berhenti di hari ke-10. Walau masih ada yang patroli, hanya untuk memastikan keberadaan penumpang yang diyakini, kalaupun ditemukan, sudah tidak utuh lagi.
Proses evakuasi saat itu, sangat dibantu oleh masyarakat di Pulau Rote dan Semau. Mereka agresif, melakukan penyisiran ke pantai-pantai, dan melalui jaringan radio amatir (ORARI), mereka mengontak tim SAR untuk menjemput para korban.
Sayang, hingga saat ini, nahkoda kapal itu, Marianus Kotten, tidak ditemukan. Beberapa testimoni menyebutkan, saat kejadian, nahkoda masuk ke ruang kemudi dan berusaha menyelamatkan kapal. Lalu dia terjebak di dalamnya, karena memang saat itu, ada banyak penumpang yang ikut terjebak dalam kapal. Kapal keburu tenggelam sebelum mereka meloncat ke luar, sehingga pusaran air menyeret mereka ke dasar laut.
***
Dari Mapolda NTT, saya pun mengikuti proses hukum dari pihak Polri terhadap kasus ini. Kebetulan, saat itu saya sudah meliput di beat Crime, sehingga kasusnya diikuti hingga tuntas. Wadir I pada Direktur Reskrim Polda, AKBP Marthen Johanis, bersama penyidik-penyidiknya intensif melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah pihak yang diduga terlibat hingga menyebabkan terjadinya musibah itu.
Mereka diantaranya beberapa anak buah kapal yang selamat, penumpang, serta kepala Syahbandar, Piter Fina. Namun hingga saat ini, kasus itu pun belum dipastikan siapa yang harus bertanggungjawab, walau pasal yang dipakai dalam kasus ini, yakni mengenai kelalaian sehingga menyebabkan nyawa orang lain hilang.
***
Sekadar menjadi referensi, bahwa Selat Pukuafu adalah selat yang terletak diantara Pulau Timor, Semau dan Rote dan dalam operasi penyelamatan, tim SAR menyisir seluruh pesisir pulau Timor bagian barat, pulau Rote dan Pulau Semau. Operasi pencarian resmi dihentikan pada 9 Februari 2006, dan dari berbagai data, upaya pencarian terakhir dilakukan oleh KRI Pandrong dan KRI Warakas. KRI Warakas menyisir laut utara Pulau Semau hingga Pulau Tabui. Sedangkan KRI Pandrong menyusuri laut dari arah selatan Pulau Semau hingga Rote. Namun tak ada satupun jasad yang ditemukan.
Selama pencarian, ada 162 orang penumpang yang berhasil ditemukan, sedangkan 107 orang tak ada berita hingga saat ini. Dari manifest, tercatat 147 penumpang dengan rincian 82 penumpang umum, 23 ABK, 23 pengendara sepeda motor, 3 pengendara mobil, 16 sopir dan kondektur.
Teman-teman yang bersama saya di dermaga malam itu, Yoppy Lati, Marthen Bana, Rudy Mandalling, Linda Makandoloe, Simon Nilli, dan beberapa lagi. Saat itu, kami bekerja atas arahan dari Pemimpin Redaksi, Yusak Riwu Rohi.
Untuk mengenang para korban, maka dilaksanakanlah doa bersama dan tabur bunga di lokasi kejadian pada 12 Februari 2006. Saat itu, saya ikut bersama rombongan Muspida. Hadir saat itu Gubernur NTT Piet Tallo, Wagub Frans Lebu Raya, Kapolda Brigjen RB Sadarum, Danem Kol. Noch Bolla, Bupati Rote Ndao Nehemia Ch Dillak, bersama wabup, Bernard Pelle, dan para tokoh agama. Saya menyaksikan, tepat di koordinat kapal tenggelam, dilakukan prosesi doa bersama yang dipimpin para tokoh agama dari Sinode GMIT, Keuskupan Agung Kupang, Majelis Ulama Indonesia (MUI) NTT dan Parisada Hindu Darma (PHDI) NTT. (tulisan ini pernah dilansir Harian Timor Express/habis)