Sebenarnya,sudah sejak lama saya ingin menulis testimoni ini. Beberapa kesibukan menyeret banyak waktuku untuk menuangkannya. Tentang sebuah perjalanan liputan tragedi tenggelamnya KMP JM Ferry di Selat Pukuafu, 31 Januari 2006. Atau 16 tahun yang lalu.
RABU malam itu, suasana di ruang redaksi Timor Express, di kantor lama, Jl RA Kartini Kelurahan Kelapa Lima-Kupang, tenang seperti biasa. Saya sedang mengetik beberapa buah berita, yang akan disuplay untuk rubrik Kupang Metro, dan juga Selebriti. Kebetulan, saya ditugasi untuk mengurus dua halaman itu, plus halaman Internasional jika ada.
Duduk di samping kanan saya, ada Simon P. Nilli dan Djemi Amnufu, di kiri saya ada Yopi Lati, Jemris Fointuna, Marthen Bana, Robert, dan beberapa teman lagi.
Pukul 20.00 WITA lebih sedikit, ada satu orang teman saya yang terlihat kurang tenang. Beberapa saat dia memegang handphonenya, sebentar keluar, lalu masuk lagi. Lalu, dia tak kelihatan hingga beberapa saat kemudian, ada kabar, adik bungsunya ada di kapal naas itu. Nama teman saya itu, Oranis Herman dan kapal itu, KMP (Kapal Motor Penyeberangan) Citra Mandala Bahari, milik PT Jembatan Madura (JM) Ferry, yang sementara melayani rute Kupang-Pantai Baru.
Marianus Koten, nahkoda kapal berbobot 489 GT, panjang 45 feet dan lebar 39 feet itu. Dibantu setidaknya beberapa ABK. Rabu sore itu, sekira pukul 16.15 Wita mereka menuju Rote. Kapal itu sangat padat muatan. Saat itu sedang musim penerimaan CPNSD di Rote Ndao, dan tak sedikit lulusan yang ingin mengadu nasib kesana. Jumlahnya sangat banyak. Saat itu Rote Ndao dikhabarkan membutuhkan banyak pegawai, karena sebuah DOB.
Seusai mengetik berita, saya pun duduk di halaman depan kantor, menemani teman lain yang merokok. Saya sendiri tidak merokok. Sesaat RX King saya pacu pulang ke rumah, Oepura.
Tak berapa lama, beberapa teman redaksi mengabarkan lewat SMS, mereka mau ke Tenau, dan saya diajak kesana. Tak lagi mengganti baju, saya pun memacu motor ke Tenau. Disana sudah banyak wartawan dan keluarga penumpang kapal naas itu.
Kami pun duduk berjejer di salah satu sudut dermaga, menanti dengan cemas, kelanjutan informasi mengenai musibah itu. Kecemasan saya cukup beralasan, Adi Papa sudah saya anggap adik sendiri. Pembawaannya ramah, rendah hati, suka menyapa lebih dahulu. Saya sering main ke rumah mereka di Kuanino, itu rumah kesekian saya. Lama menunggu, masih juga tak ada kabar. Saya sudah lapar, karena belum makan malam. Saya terakhir makan, siang, dengan sahabat Imanuel Lodja. Saat itu sedang hujan. Di laut, hitam pekat.
Agak magrib, memang ada penumpang yang terus berkomunikasi dengan keluarga mereka di darat. Komunikasi itu berlangsung ketika kapal sudah mendekati pelabuhan Pantai Baru-Rote, namun tak bisa melanjutkan perjalanan dengan alasan kemudinya patah.
“Beta masih di sekoci, kalau sonde balas berarti kami sudah tenggelam.”
Demikian penggalan balasan dari seberang. SMS itu adalah yang kesekian, dari penumpang yang selamat. Saat itu banyak SMS berseliweran. Memohon pertolongan, karena masih di sekoci. Ada juga yang mendapat kiriman SMS mengenai situasi di atas kapal detik-detik menjelang tenggelam. Kami kian cemas. Karena hingga larut, tak ada bantuan kesana.
Sementara kian banyak warga yang datang ke Tenau. Mereka diantaranya keluarga penumpang kapal naas itu.
Pukul 03.30 Wita (subuh), beberapa teman sampaikan ke saya, ada dua kapal perang yang akan melakukan evakuasi ke koordinat tenggelamnya JM Ferry. KRI Tongkol dan KRI Pandrong. Teman saya Oranis Herman yang saat itu duduk berdampingan, bersepakat dengan saya. “Bu, beta iko yang satu, bu iko yang satu eeee…. Nanti kalau ada kabar soal Adi Papa na SMS beta,saya pun sepakat. Dia memilih KRI Pandrong, saya menuju satunya. Adi Papa adalah adik bungsunya, yang ke Rote Ndao untuk melamar jadi CPNSD.
Beberapa teman enggan naik KRI Tongkol. Sambil memandang lambung kapal yang hitam, saya menuju anak tangga. Tak berapa lama, saya sudah di dalam. Saya dan teman saya dari TVRI, Tomy Mirulewan.
Kami berangkat saat azan dari teluk Tenau berkumandang.
Terdengar jelas.
Sepeda motor saya titip ke sahabat saya, Meky Asbanu. “Kaka, beta titip motor. Kalau beta sonde pulang lai, ini motor tolong kaka bawa pulang sa ke rumah. Beta liat agak berat,”pinta saya. Sangat beralasan, karena kami berangkat saat gelap pekat karena badai di depan mata.
Diatas kapal, saya diam.
Tak lama terdengar peluit panjang.
Aba-aba khas dari kapal perang, sauh sudah ditarik, kapal segera bergeser.
Peluit panjang itu baru pertama saya dengar seumur hidup.
Nyaring.
Garing.
Membelah sunyi.
Saat kapal perang itu bertolak menjauhi dermaga Tenau, barulah saya sadar. Saya sudah mengambil sebuah keputusan yang tidak pernah saya mengerti.
Naluri jurnalistik memaksa saya untuk harus ikut.
Menuju ke lokasi, semula tak ada riak yang mengganggu.
Setelah 30 menit perjalanan, barulah saya merasakan badai itu. Datang dari arah depan, membuat kapal kami harus ekstra hati-hati dalam misi menuju titik musibah.
Perlahan, kami mulai melihat buih ombak. Sudah hampir pagi. Saya masih melihat ujung Pulau Timor. Samar. Tak jauh. (Tulisan ini pernah dipublish di Harian Timor Express/bersambung ke edisi 2)