MENEGANGKAN, detik-detik evakuasi terhadap ratusan korban tenggelamnya JM Ferry di Selat Pukuafu, 31 Januari 2006. Tak hanya kami yang tegang, melainkan belasan anggota Marinir KRI Tongkol 813 pun nampak sibuk. Mereka hilir mudik ke sana kemari untuk mengecek persiapan.
Sesaat diatas kapal, saya disuruh masuk ke dalam kapal, lalu duduk di ruang meetingnya. Ruang itu tidak begitu besar. Ada meja bundar dan setidaknya 10 buah kursi. Ada jendela, dimana kami mudah melihat ke luar, memantau situasi. Hanya percuma, di luar masih gelap. Kami hanya mendengar deru ombak, saat menghantam badan kapal perang itu.
Beberapa anggota TNI AL sedang nonton TV, sedang ada film Perancis, adegannya menarik. Saya tetap fokus pada tujuan, liputannya harus berkualitas. Beberapa kursi coba saya satukan agar dipakai tidur, tidak bisa. Ombaknya mulai besar, dan tidurpun tidak bisa.
Beberapa saat, saya keluar dari ruang meeting, sekadar mau menghirup udara laut. Namun karena dihantam ombak, kapal pun sempat miring. Saya mengurungkan niat untuk berlama-lama di luar.
Namun masuk kembali bukan sebuah solusi. Karena saya pasti akan kehilangan momentum. Sambil terus mendengar percakapan anggota TNI AL yang bertugas, saya sesekali menengok ke luar, memastikan besar kecilnya ombak. Seumur hidup baru saya liat ombak setinggi itu.
Saat kapal berada di bawah, kami seolah berada dalam sebuah bak, dan kapal kecil kami dipagari dinding air raksasa. Tinggi sekali. Melebihi kapal kami berlipa-lipat kali. Saya melihat, kapal kami sangat kecil dibanding besarnya ombak itu. Begitu pula ketika miring ke kiri, belakang saya seolah menyentuh air laut, sedangkan saya tidak melihat air laut di depan, hanyalah langit.
Kebetulan saat itu saya sudah berada di luar. Sambil memeluk sebuah tiang seukuran pipa 4 Dim, saya menyaksikan ganasnya ombak. Jarak antara pipa itu dengan pinggir kapal hanya terpaut sekira 30 Cm. Dan beberapa kali kaki saya sempat menggantung karena kerasnya goncangan. Asap tebal diselingi raungan suara mesin kapal bergelut dengan badai, membuat suasana kian tegang. Ini berlangsung selama beberapa saat. Kami akhirnya terbiasa dengan kondisi ini.
Beberapa anggota TNI AL nampak sibuk mengeluarkan air yang sudah masuk ke kapal. Mereka juga membenahi pembatas berupa pagar yang sudah terpatah akibat badai.
Sekira pukul 04.48 Wita, ada teriak dari depan. “Ada satu di depan.”
Kami menemukan satu orang penumpang. Dia memegang sebuah jeriken, dari kejauhan sudah kelihatan. Lalu dengan cekatan, pasukan TNI AL, melemparkan tali ke arahnya, dan menyuruhnya memegang tali itu.
Sayang, evakuasi sedikit terhambat karena ombaknya terlalu tinggi. Rupanya evakuasi ini juga dibantu oleh sebuah pesawat Nomad milik TNI AL, yang terus memantau dari udara, terbang rendah untuk mengidentifikasi penumpang yang selamat. Pesawat ini baru melaporkan ke kami, ketika ratusan penumpang sudah 14 jam terapung di Pukuafu.
Saya berkesimpulan, pesawat ini tidak bisa efektif bekerja jika terbang malam. Percuma. Karena sedang ada badai, dia akan kesulitan menemukan korban karena jarak pandangnya sangat terbatas. Pagi itu, dia mengirim frekwensi radio ke kapal perang yang saya tumpangi, bahwa ada yang berhasil diidentifikasi. Dia mengirim koordinatnya, kami pun kesana. Orang pertama yang kami temukan itu adalah Arnold Thene.
Kami lalu menemukan beberapa lagi, dengan sekoci. Badai kian menjadi.
Sambil memeluk tiang itu dengan tangan kiri, tangan kanan saya sibuk mengambil gambar. Beruntung hari sudah terang, dan seluruh momen itu saya abadikan. Ratusan foto (saya simpan rapi hingga kini). Kamera pocket itu sungguh sangat berjasa bagi saya. Beberapa kali saya potret diri saya. Ini sengaja saya rencanakan, agar jika nanti saya ikut tenggelam, dan ada orang yang menemukannya, kamera itu akan banyak berbicara. Setidaknya mengenai saya, biar orang tua di kampung pun bangga, anaknya pernah melakukan reportase yang amat mahal.
***
Ada yang menarik dari aksi evakuasi pagi itu.
Ada beberapa orang ibu yang kami tolong, mereka berebutan meraih tali tambang yang diulurkan ke mereka. Saya menjadi saksi, bagaimana kondisi setiap manusia yang berada pada titik paling rendah dalam hidup. Ada yang menggapai tali, namun terlepas, jatuh lagi, lalu dengan sisa kekuatannya, menggapai tali itu.
Sangat ironis.
Sambil memotret, saya tak sanggup menahan air mata.
Saya menangis. Beberapa kali air mata saya mengering, tanpa saya seka sekalipun.
Saya biarkan. Tokh orang lain tak tahu, hanya saya sendiri. Lagipula saat itu sedang hujan deras, dan badai. Kalau sekadar menangis, orang tak peduli. Air mata bercampur air hujan dan buih laut. Memenuhi wajah saya.
Ah…… saya terlalu emosional pagi itu.
Saya merasa, badai itu sangat kencang. Dia seolah tidak mau merelakan ratusan penumpang yang sementara di laut, diselamatkan.
Tangan kanan saya terus memencet tombol kamera, tak henti. Sambil mulut saya terus menyucapkan kata syukur “Terimakasih Tuhan.” Berulang kali.
Syukur, karena kamera itu selalu saya ganti baterainya. Dia sedang dalam kondisi prima. Kembali saya selipkan pada sarung di pinggang, saya benar-benar mabuk laut. Namun hanya sebentar, saya berusaha pulih dan kembali melanjutkan reportase.
Pukul 06.00 Wita, suasana sudah benar-benar terang. Ombak masih besar, dan kami masih di Pukuafu. Sempat kami menuju Mulut Kumbang, Semau, karena perkiraan nahkoda, derasnya arus dari Samudera Hindia, menyeret para korban ke sana. Namun hanya beberapa yang kami temukan. Lalu kami berputar-putar ke beberapa kawasan, hasilnya nihil.
Saya lalu mendekati beberapa orang selamat yang ditidurkan di bagian atas kapal, sebuah ruang terbuka yang ada atapnya. Mereka dibungkusi kain tebal, lalu diberi air hangat biar pulih. Tim medis milik KRI Tongkol menjangkau satu persatu, dan menanyakan kondisi mereka. Ada yang tak mampu bicara, hanya terdiam. Sesekali mengangguk.
Saya akui, mereka mengalami trauma yang amat berat.
Tak lama, di depan mata, saya menyaksikan satu penumpang meninggal dunia.
Sekira pukul 13.00 Wita, kami balik ke dermaga Tenau. Saya terpekur lama, di samping buritan. Mata saya menatap buih ombak yang dibelah moncong kapal yang runcing. Saya merenung, hidup dan mati kita, adalah rahasia Ilahi.
Sepenuhnya otoritas DIA.
Setibanya di dermaga, kapal kami dinanti-nantikan ribuan pasang mata. Saya memandang dari jauh, dermaga itu penuh. Sangat sesak oleh manusia.
Disana sudah menanti Gubernur Piet Tallo, Wagub Frans Lebu Raya, Walikota S.K Lerik, wawali Daniel Adoe, Danrem 161/WS Kol (Inf) APJ Noch Bolla, Kapolda NTT, Brigjen RB Sadarum, Ketua Satkorlak NTT, Frans Salem dan banyak pejabat. Masyarakat tumpah ruah, tak terhitung. Perlahan saya menuruni anak tangga, ke bawah. Saat menginjakkan kaki di lantai semen dermaga, saya merasa seolah hidup kembali. (tulisan ini pernah dipublish Harian Timor Express/bersambung ke bagian 3)