Dilema Politik Identitas: Tidak Diinginkan tetapi  Sulit Dihindari

Opini78 Dilihat

Oleh: Yonatan Hans Luter Lopo

(Dosen Prodi IlmuPolitik FISIP Undana Kupang)

Salah satu tantangan utama dalam perhelatan pilkada serentak 2024 di Nusa Tenggara Timur adalah mengelola politik identitas. Ekspresi-eksperesi identitas yang diwujudkan dalam pilkada seringkali berpotensi mengancam kohesi sosial masyarakat kita yang sebenarnya sehari-hari hidup toleran dan saling menghormati perbedaan. Merespon situasi tersebut, KPU Provinsi NTT bekerjasama dengan Polda NTT menggelar acara bertajuk deklarasi pilkada damai pada hari selasa (24/09/2024) dengan melibatkan semua paslon Gubermur/Wakil Gubernur NTT yaitu Yohanis Fransiskus Lema–Jane Natalia Suryanto, Emanuel Melkiades Laka Lena-Johny Asadoma, dan Simon Petrus Kamlasi – Adrianus Garu. Ketiga paslon telah menyatakan ikrar untuk menjunjung tinggi politik ide dan gagasan, serta menjauhi politisasi identitas suku, agama, dan ras untuk kepentingan politik praktis.

Identitas dan politik identitas

Pada dasarnya tidak ada satu manusia pun yang terlahir dengan identitas tunggal. Nama, marga, etnis, agama, ideologi, gender hingga identitas kebangsaan adalah sedikit dari sekian banyak identitas yang melekat pada diri manusia sejak kelahirannya. Problem identitas yang beragam tersebut baru menjadi persoalan serius dalam kajian ilmu politik sejak dekade 1970-an, bermula ketika di Amerika Serikat yang mengalami problem diskriminasi terhadap minoritas etnis, ras, terutama kulit hitam,dan gender. Kelompok-kelompok sosial ini merasa terpinggirkan dan menjadi objek eksklusi sosial oleh rezim yang sedang berkuasa (Ma’arif, 2009). Dalam perkembangannya, gerakan politik identitas yang bertujuan melawan ketidakadilan dan diskriminasi berubah menjadi gerakan berbasis pada suku, agama, dan ikatan kultural lainnya. Ekspresi dan artikulasi identitas dinyatakan dalam wujud yang bervariasi, mulai dari sekadar perjuangan mengubah aturan, menempatkan orang sebagai representasi identitas dalam lembaga-lembaga politik, hingga yang paling ekstrem adalah gerakan memisahkan diri untuk menjadi negara merdeka, seperti yang terjadi di Queebeck, Kanada, atau Catalan di Spanyol.

Dengan demikian, sejarah mencatat bahwa gerakan politik berbasis identitas di seluruh dunia selalu berakar pada ketidakadilan dan ketimpangan sosial, diskriminasi serta ketiadaan pengakuan dan penghormatan (politics of recognition) terhadap eksistensi kelompok masyarakat tertentu di sembarang tempat dan waktu. Artinya akar persoalannya bukan terletak pada perbedaan identitas, tetapi justru ketidakadilan, ketimpangan, dan eksploitasi manusia atas manusia, serta kurangnya pengakuan dan penghormatan negara terhadap kelompok masyarakat tertentu sebagai alasan yang mendasari semua gerakan politik atas nama identitas di berbagai penjuru dunia.

Baca Juga  Pungutan dan Sumbangan Sekolah

 

Pilkada tanpa politik identitas?

Dalam konteks Nusa Tenggara Timur, membayangkan pelaksanaan pemilihan kepala daerah tanpa menggunakan instrumen identitas adalah sesuatu yang hampir mustahil dalam masyarakat majemuk seperti di NTT.

Pertama, sejarah pelaksanaan pilkada langsung sebagai bagian inhern dari pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah justru merupakan wujud pengakuan dan penghormatan negara terhadap eksistensi dan keberagaman lokal yang sangat bervariasi. Pilkada adalah cara negara memfasilitasi keberagaman lokal untuk berkompetisi secara demokratis. Pilkada harus dipandang sebagai arena mendialogkan keberagaman, dengan tujuan-tujuan yang produktif dan mulia, terutama memerangi kemiskinan dan ketertinggalan di berbagai sektor.

Kedua,sejumlah studi menunjukkan bahwa dalam konteks demokrasi, Nusa Tenggara Timur adalah daerah dengan karakteristik plural-kompromis, yaitu daerah dengan tipikal masyarakat majemuk secara etnik dan agama, yang dirayakan dengan cara-cara yang kompromistis, termasuk dalam pilkada (Bayo,et.all,2018). Praktiknya adalah para elit berkompromi di belakang layar, untuk merayakan pluralitas dengan cara memberi ruang yang sama dan seimbang pada semua kelompok untuk berkompetesi dalam pilkada.Wujudnya adalah kandidat kepala daerah/wakil kepala daerah harus selalu memperhatikan keseimbangan komposisi demografis suku dan agama.

Ketiga,bahkan di ranah birokrasi pemerintahan yang dianggap netral dan berbasis pada merryt system sekalipun, terjadi praktik representasi berbasis etnik dan agama dengan mentautkannya dalam kerangka formal birokrasi (Sayrani, 2017). Artinya dalam pemilihan dan penempatan jabatan birokrasi tidak hanya memperhatikan aspek-aspek kelayakan pangkat dan golongan ruang, tetapi juga mempertimbangkan aspek keseimbangan representasi etnis dan agama (politics of representation). Praktik seperti ini sudah lama terjadi dalam birokrasi pemerintahan Provinsi NTT.

Dengan demikian, politik identitas dalam pilkada NTT tidak dimaknai sebagai bentuk mobilisasi kebencian terhadap paslon tertentu atas nama perbedaan suku, agama, dan ras. Akan tetapi aspek ini harus dimaknai sebagai wujud konsensus masyarakat plural, sebagai cara untuk saling memberi pengakuan sekaligus memberi ruang representasi yang seimbang. Bahkan, pada pilkada NTT 2024 ini, ketiga paslon yang saat ini maju adalah representasi dari etnis yang beragam, tidak hanya didominasi oleh kombinasi Flores-Timor, atau sebaliknya, seperti pada beberapa periode pilkada sebelumnya. Kenyataan ini harus dipandang sebagai wujud politics of recognition, terhadap eksistensi kelompok suku dan agama lain yang juga hidup dan menghidupi Nusa Tenggara Timur dalam kurun waktu yang lama.

Baca Juga  VBL - ESK dan Kelor

Sekalipun demikian, kita juga patut memberi ruang penghormatan kepada kelompok masyarakat yang membangun asosiasi diri dengan paslon tertentu karena alasan kesamaan identitas primordial, baik suku dan agama. Lagipula secara teoritis, seseorang memilih kandidat bukan hanya karena alasan rasional, seperti visi, misi, dan program, tetapi juga karena faktor-faktor sosiologis seperti kesamaan suku, agama, golongan, ideologi, gender serta faktor psikologis seperti kedekatan secara emosional. Karena itu adalah sah dan wajar pula bagi kandidat dan tim sukses untuk mendekati pemilih melalui jalur-jalur kekerabatan dan aliansi-aliansi tradisional. Yang perlu dijaga di sini adalah jangan sampai pemerintahan terpilih nanti akan berlaku tidak adil dan diskriminatif terhadap sejumlah keragaman kultur budaya dan bahasa di Nusa Tenggara Timur.

BukanAncaman

Dalam konteks NTT, saya termasuk orang yang tidak terlalu khawatir bahwa politik identitas, sepanjang dimaknai sebagai politics of recognition and politics of representation, berpotensi merusak kohesi sosial dan tatanan masyarakat yang sangat toleran dan harmonis dalam situasi normal. Bahkan Pengakuan terhadap kerukunan antar kelompok agama dan etnis di NTT misalnya datang dari kementerian agama RI yang pada tahun 2022 menobatkan NTT sebagai Provinsi paling toleran dengan julukan Nusa Terindah Toleransi. Seharusnya kita tidak perlu risau bahkan melarang para kandidat dan tim sukses menggunakan jaringan kekerabatan dan identitas primordial untuk memobilisasi dukungan. Semua itu harus diterima sebagai normalitas dalam politik. Yang tidak normal adalah melarang orang lain untuk tidak berkampanye dengan instrumen jaringan SARA, sementara secara diam-diam menikmati keuntungan elektoral akibat mobilisasi voters berbasis jaringan kekerabatan suku, agama, ras dan golongan.

Baca Juga  PARALELISME MESIR ( 214 )  KUNO  & SUMBA ( 241)

Problem utama kita terletak pada cara berpikir yang menganggap seolah-olah politik berbasis ide dan gagasan serta politik berbasis representasi etnis dan agama sebagai dua hal yang saling meniadakan. Seolah-olah jika seorang mengutamakan keseimbangan repsentasi etnis dan agama, maka pada saat yang sama dia tidak mementingkan visi, misi dan program. Sebaliknya jika seseorang mengutamakan ide dan gagasan, maka dia tidak mementingkan aspek keterwakilan politik. Logika binner semacam ini justru yang berpotensi mengganggu dan menyederhanakan persoalan.

Hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah aparat penegak hukum wajib mencegah, mengawasi, serta melakukan tindakan hukum apabila ditemukan adanya pelanggaran berupa perkataan dan tindakan yang mengarah pada rasisme yang dilakukan oleh oknum bahkan tim sukses paslon sekalipun, baik secara langsung maupun tidak, lewat ofline maupun online, baik sengaja maupun tidak sengaja. Penegakkan hukum oleh Bawaslu dan Kepolisian penting untuk memberi efek jera terhadap oknum yang mencoba mencari popularitas dengan cara-cara yang picik, yaitu merendahkan harkat dan martabat identitas orang lain. Sebab jikalau hari ini masih ada orang yang mengidap syndrome superioritas, yang mengira dirinya unggul secara moral dan intelektual di hadapan orang lain karena alasan suku dan agama, maka sesungguhnya dia bermasalah dengan dirinya sendiri.

Saya beranggapan bahwa hal ini adalah gejala orang per orang, bukan gejala komunal. Sebab barangkali ada orang yang mengalami penurunan kemampuan untuk hidup berdampingan dengan orang lain yang berbeda identitas, tetapi sejarah NTT telah membuktikan sebaliknya, bahwa kerukunan dan toleransi adalah modal sosial yang menjadi prasyarat memerangi segala bentuk ketertinggalan di bumi Flobamora.

Pada akhirnya, tantangan terbesar kita bukan terletak pada perbedaan etnis dan agama, tetapi terutama sekali adalah kemiskinan, ketertingalan, dan ketidakadilan sosial. (***)

Posting Terkait

Jangan Lewatkan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *