Maksimus Ramses Lalongkoe*)
SIKAP politik ekstrim calon anggota legislatif (caleg) DPR RI dari Partai NasDem nomor urut 5 di Daerah Pemilihan (Dapil) Nusa Tenggara Timur II (NTT), Ratu Ngadu Bonu Wulla alias Ratu Wulla, yang mengundurkan diri, menghebohkan jagat raya. Pantauan saya, beberapa hari terakhir hingga saat ini, berbagai media arus utama termasuk anekaragam media sosial, memberitakan sekaligus membahas tindakan politisi asal pulau Sumba, NTT itu.
Sikap politik ekstrim Ratu Wulla itu seolah memercik kobaran api di atas langit Nusantara. Ekspresi kekecewaan, kekesalan, kemarahan dan amarah penolakan yang mengaku sebagai pendukung Ratu Wulla seliweran di berbagai media. Ungkapan kekecewaan publik yang mengaku sebagai pendukungnya, tentu bukan tanpa alasan. Sebab, pengunduran diri Ratu Wulla disaat dirinya mendapat kepercayaan sangat siginifikan masyarakat NTT khususnya wilayah pemilihan daratan Sumba, Pulau Timor, Rote dan Sabu. Ia memperoleh 76.331 suara mengalahkan mantan Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat caleg NasDem nomor urut 1 yang memperoleh 65.359 suara. Artinya melihat angka perolahan suara ini, Ratu Wulla kembali duduk sebagai anggota DPR RI periode 2024-2029.
Surat pengunduran dirinya sudah dilayangkan ke KPU RI. Meskipun KPU RI belum memutuskan secara resmi sesuai regulasi yang ada, namun sikap politik tidak biasa ini banyak menuai reaksi ekstrim publik luas. Publik pun mulai menerka, menebak-nebak dan mengalisa liar, ada apa dibalik sikap ekstrim pengunduran diri Ratu Wulla? Benarkah pengunduran diri ini atas kehendak dirinya sendiri tanpa adanya suatu beban tekanan partai? Ataukah memang ada ‘hal-hal’ lain yang membuat Ratu Wulla legowo mengundurkan diri sehingga pemenang suara terbanyak kedua menempati kursi itu? Semuanya menjadi teka teki dan menjadi bola liar tak bertuan.
Sebagai akademisi, saya coba menganalisanya lebih jauh dan lebih dalam dari yang tampak di permukaan. Bila pengunduran diri Ratu Wulla atas adanya tekanan internal partai, artinya bukan atas dasar keinginannya sendiri, maka dalam kondisi demikian adanya campur tangan pengendali partai. Ruang ini yang saya sebut sebagai ruang keputusan ‘Proporsional Tertutup’.
Lalu apa itu sistem proporsional tertutup? Sistem proporsional tertutup adalah sistem pemilihan umum yang hanya memungkinkan masyarakat memilih partai politiknya saja, bukan calon wakil rakyat secara langsung. Saat pemilu dengan sistem ini, pemilih hanya mencoblos tanda gambar atau lambang partai dalam surat suara karena tidak tersedia daftar kandidat wakil rakyat di surat suara.
Sistem semacam ini berlaku sejak masa orde baru dari tahun 1971 sampai 1997 yang mana jumlah partai dibatasi hanya tiga saja, jadi daftar caleg tidak ada di surat suara hanya di umumkan di Tempat Pemungutan Suara (TPS), nantinya yang terpilih berdasarkan nomor urut. Nomor urut ditentukan oleh mekanisme internal partai.
Kata kunci dari penjelasan tersebut ada di ‘Mekanisme Internal Partai’. Artinya siapa yang duduk sebagai anggota Dewan ditentukan oleh partai itu bukan oleh calon. Jadi fenomena yang dialami Ratu Wulla seolah kasuistis yang mau mengasi bahwa mereka sedang menerpakan sistem propolsional tertutup. Bila demikian adanya maka hal semacam ini bukan teori baru dalam perpolitikan Indonesia. Apalagi sebelumnya, wacana sistem proporsional tertutup ini kembali mengemuka sebelum pemilu 2024 berlangsung.
Analisa saya ini, bisa saja diperdebatkan. Bagaimana dengan anda? ***
*) Penulis adalah seorang Akademisi