Kuasa Rakyat versus Kuasa Uang

Opini372 Dilihat

Oleh:  Yonatan Hans Luter Lopo

(Dosen Prodi Ilmu Politik FISIP Undana)

Hiruk pikuk pilkada NTT telah memasuki tahapan kampanye. Semua kandidat kepala daerah beserta partai politik pengusung dan pendukung calon Gubernur/Wakil Gubernur sedang sibuk-sibuknya melakukan kampanye untuk meyakinkan pemilih agar menjatuhkan pilihan politiknya kepada kandidat tertentu pada tanggal 27 November 2024 mendatang. Secara konseptual, masa kampanye seringkali dimaknai sebagai “perang dengan cara yang lain”. Para tim sukses baik dari partai politik, para relawan, dan simpatisan dapat dimaknai sebagai “pasukan tempur”. Peralatan kampanye berupa baliho, spanduk, stiker, dan lain-lain dimaknai sebagai “senjata”, sementara basis pemilih dimaknai sebagai “sasaran”. Pada titik ini, strategi, metode, dan pendekatan yang tepat akan menentukan siapa yang akan keluar sebagai kandidat terpilih, antara Yohanis Fransikus Lema-Jane Natalia Suryanto, Emanuel Melkiades Laka Lena-Johny Asadoma, serta pasangan Simon Petrus Kamlasi-Adrianus Garu.

Uang Sebagai  “Peluru”                                  

Sejumlah studi sudah menjelaskan bahwa pemilihan umum dan juga pilkada sebagai arena perwujudan kedaulatan rakyat seringkali luluh-lantah oleh determinasi politik uang. Studi Burhanudin Muhtadi (2020) menjelaskan dengan gamblang betapa uang telah menjadi normalitas baru dalam pemilu-pemilu pasca orde baru. Praktik jual beli suara dilakukan tanpa malu-malu, baik karena alasan etis maupun alasan hukum. Sistem pemilu proporsional terbuka, serta ikatan yang lemah antara masyarakat dengan partai politik (Party ID) adalah dua faktor utama yang membuat politik uang sangat massif.  Studi  lain dilakukan oleh Aspinal dan Sukmajati (2014) juga memotret politik uang dalam pemilu 2014 begitu massif terjadi karena antara kandidat dan pemilih terbentuk polarelasi yang bercorak patronase dan klientelisme. Politik uang tidak hanya berkaitan dengan praktik pembelian suara (vote buying), tetapi juga meliputi praktik layanan-layanan individu (individual gifts), pemberian barang-barang public (public goods), serta proyek-proyek gentong babi (pork barrel politics).

Studi yang cukup monumental dilakukan oleh Ward Berenschot (2019) dengan membandingkan pemilu di Indonesia dengan India dan Argentina. Studi tersebut menjelaskan bahwa praktik jual beli suara dalam pemilu dan pilkada di Indonesia sangat khas dan unik karena dilakukan melalui jaringan informal kandidat, tidak hanya melalui jejaring partai politik seperti di India dan Argentina. Karena itu istilah-istilah seperti tim sukses, relawan, dan broker suara adalah sangat khas Indonesia, serta tidak ditemukan di India dan Argentina yang lebih mengandalkan jejaring partai politik. Jaringan-jaringan informal inilah yang memungkinkan politik transaksional terjadi dengan massif.

Baca Juga  Ikrar MDT, Parang Hulu Gading dan Spirit Kemenangan Simon Kamlasi-Andre Garu di SBD

Dalam skala yang lebih mikro, penulis pernah terlibat dalam sebuah studi yang memotret pembiayaan pilkada di Kota dan Kabupaten Madiun, Jawa Timur pada pilkada tahun 2018. Studi kami menemukan bahwa seorang calon kepala daerah harus menyiapkan dana sebesar 10 s/d 15 Milyar Rupiah untuk maju sebagai Bupati/Walikota (Sukmajati, dkk, 2018). Komponen terbesar dari biaya pilkada (50 %) dilakukan untuk membeli suara (vote buying) yang dilakukan dengan beragam metode. Sisanya adalah 30 % digunakan untuk “membeli perahu” alias tiket partai politik, dan hanya 20 % dari total dana kampanye yang digunakan untuk konsolidasi, kampanye oleh tim sukses, dan belanja alat peraga kampanye. Studi kami menyimpulkan bahwa membelanjakan uang dengan jumlah itu, belum tentu menang. Tetapi tidak mengeluarkan uang sejumlah itu, sudah pasti kalah. Artinya ada korelasi positif antara jumlah uang yang dibelanjakan dengan kemungkinan keterpilihan. Dengan mengikuti hukum pasar, angka tersebut sudah pasti jauh lebih meningkat sekarang apalagi di level pilkada Gubernur/Wakil Gubenur.

Sejauh ini, penulis belum menemukan riset yang serius terkait besaran biaya kampanye pilkada di NTT, baik level pilkada Provinsi maupun pilkada Kabupaten/Kota. Meskipun demikian, hasil studi cepat penulis bersama tim KITLV Belanda dan PolGov UGM dalam pemilihan legislative 2024 di Kota Kupang, meng-capture praktik politik uang yang massif dilakukan oleh para caleg. Para kandidat yang bertarung secara serius dalam pemilu legislative rata-rata menghabiskan uang Rp. 500 juta– Rp. 1 Milyar dalam pemilu 2024, itupun tidak ada jaminan terpilih. Jika dibandingkan dengan kota atau provinsi lain di Indonesia, maka jumlah besaran dana kampanye tersebut tergolong kecil, tetapi yang menarik adalah jumlah besaran vote buying sangat tinggi. Praktik pembelian suara (vote buying)  dalam pemilu legislative di Kota Kupang meningkat dengan kisaran Rp. 300.000 s/d 500.000 per orang. Bahkan dalam sejumlah kasus spesifik, beberapa kandidat membayar lebih mahal dari nominal di atas. Dengan demikian, potensi politik uang dalam pilkada NTT 2024 sangat terbuka.

Sejumlah studi yang telah dipaparkan di atas menjelaskan betapa uang ibarat peluru nyasar yang dapat mengenai siapapun. Dalam konteks pilkada, uang adalah komponen utama yang sangat menentukan beberapa aspek. Pertama, menentukan proses kandidasi. Seseorang bisa dipilih oleh partai politik sebagai calon gubenur/wakil gubernur bukan hanya karena pertimbangan popularitas, elektabilitas, dan akseptabilitas, tetapi juga isitas. Kedua, membeli “perahu”. Dalam pilkada, para kandidat harus menyiapkan sejumlah uang untuk bisa mendapatkan tiket pencalonan dari partai politik. Dana ini biasanya dibungkus dengan istilah yang sangat halus semi saluran, dana saksi, dana operasional, dan lain-lain. Ketiga, vote buying. Komponen pembiayaan yang sangat besar adalah praktik pembelia suara. Dalam banyak kasus pilkada, pembelian suara adalah strategi pamungkas para paslon yang digunakan untuk mempengaruhi pilihan pemilih.

Baca Juga  Bertemu Pdt Mell Atock, Simon Petrus Kamlasi Dititipi Pesan Penting dan Didoakan

Kemerosotan Demokrasi

Implilkasi serius dari praktik politik uang yang sangat massif dalam pilkada berkaitan dengan tiga hal. Pertama, mendistorsi preferensi dan afiliasi politik pemilih. Pemilih yang sudah memantapkan pilihan pada kandidat tertentu bisa saja berubah menjelang hari pemungutan suara karena determinasi logistik. Seringkali perubahan sikap pemilih ini terjadi karena relasi kuasa yang timpang, dalam arti pemilih berada dalam situasi dan kondisi yang terpaksa harus menerima pemberian dari kandidat dan tim sukses, yang selanjutnya harus mereka pilih. Kedua, merusak rasionalitas pemilih. Daya rusak money politic yang sangat luar biasa adalah semua bayangan ideal tentang pilkada sebagai ajang pertarungan visi dan misi, program, gaya kepemimpinan, hanya sekadar formalitas yang tak berarti sama sekali. Semua variable tersebut tidak menjadi pertimbangan pemilih dalam mengambil keputusan untuk memilih kandidat tertentu. Ketiga, meningkatkan ongkos politik menjadi mahal. Masifnya politik uang mengubah pilkada menjadi industri politik. Pilkada ibarat pasar politik yang mana tersedia penyedia uang (provider), distributor, dan juga penerima uang (receiver). Keempat, mendelegitimasi hasil pilkada. Perlu disadari bahwa cara berpolitik menentukan cara berkuasa, dan cara berkuasa akan menentukan cara membangun. Kandidat yang berpolitik dengan kekuatan uang tidak akan punya banyak ruang dan waktu untuk memikirkan nasib rakyat, sebab energinya akan dihabiskan untuk kembali mengumpulkan modal yang hilang selama masa kampanye.

Memberkuasakan Rakyat

Banyak cara yang sudah ditawarkan para ahli sebagai obat mujarab untuk melawan penyakit demokrasi berupa politik uang. Namun sejauh ini nampaknya semua cara yang sudah ditempuh belum cukup berhasil. Persoalannya adalah politik uang seringkali dianggap semata-mata sebagai masalah moral. Penyedia, distributor, dan penerima uang dianggap sama-sama memiliki moralitas yang rendah. Sehingga edukasi politik yang dilakukan seringkali berdimensi moral seperti himbauan dan nasehat kepada pemilih. Padahal letak persoalannya adalah bahwa rakyat hanya memiliki hak untuk memilih tetapi tidak memiliki power and ability agar posisi tawar mereka tidak lemah di hadapan para kandidat. Ketidak berdayaan dan ketidakmampuan untuk bernegosiasi dengan para kandidat adalah pintu masuk bagi para kandidat untuk memperlakukan suara rakyat sebagai barang yang mudah dibeli. Oleh karena itu cara yang mestinya dilakukan adalah rakyat harus diberkuasakan (to give power), sekaligus diberikan kemampuan (to give ability) untuk menggunakan kekuasaannya serta membangun negosiasi dengan para kandidat agar tidak terlihat lemah dan inferior di hadapan para politisi.

Baca Juga  Rekomendasi dari Nasdem untuk Simon Petrus Kamlasi-Andre Garu, SIAGA Menuju Pilgub NTT

Dalam konteks NTT, ada beberapa pilihan rute yang bisa ditempuh. Pertama, membangun ‘benteng budaya’. Para politisi seringkali memanfaatkan kebutuhan-kebutuhan ril masyarakat sehari-hari seperti uang tunai, sembako, layanan-layanan individu seperti layanan administrasi, pendidikan, dan kesehatan, sebagai pintu masuk untuk membeli suara rakyat dengan uang. Dalam konteks ini, bukan rakyat yang harus dijadikan sebagai objek pendidikan politik. Tetapi rakyatlah yang harus memberikan “pendidikan” kepada para politisi. Benteng budaya yang dimaksudkan bukan menyelenggarakan upacara-upacara adat untuk melawan politik uang. Tetapi menggunakan saluran-saluran kebudayaan untuk mengorganisir rakyat agar “menghukum” politisi yang memperlakukan suara rakyat sebagai barang yang mudah dibeli. Sebab hanya dengan kekuatan rakyat yang terorganisirlah para politisi tidak mudah membeli suara rakyat dengan apapun.

Kedua, memperkuat akses dan kontrol warga terhadap sumberdaya negara. Para politisi seringkali memanipulasi kesadaran publik bahwa public goods yang diberikan politisi kepada warga yang bersumber dari kekayaan negara adalah karena kemurahan hati (benevolence) para politisi. Padahal barang-barang publik (public goods) seperti perlengkapan olahraga, alat dan mesin pertanian, fasilitas kesehatan yang diakses dari kekayaan negara adalah hak warga dan kewajiban negara, bukan semata-mata benevolence politisi. Edukasi semacam ini penting dilakukan agar rakyat sadar bahwa para politisi hanyalah alat atau saluran untuk memperjuangkan aspirasi rakyat, bukan sebagai pemiliki resource negara.

Ketiga, membuat role model berupa desa/kelurahan demokrasi. Ide ini mungkin sudah diterapkan di banyak tempat dengan nama dan metode yang berbeda. Tetapi yang paling penting adalah KPU, Bawaslu, dan semua penggiat pemilu, termasuk kalangan kampus perlu mendesain model percontohan yang bisa dijadikan sebagai role model dalam melawan politik uang. Sebab kalau tidak demikian, diskursus mengenai politik uang hanya akan menjadi bahan seminar dari waktu ke waktu. Pada akhirnya, politik uang tidak bisa hanya dilawan dengan penegakan hukum. Sebab masalah politik harus diselesaikan pula secara politik. Sudah saatnya rakyat diorganisir, diberkuasakan, dan dimampukan untuk melawan praktik-praktik politik uang ! ***

Posting Terkait

Jangan Lewatkan