KALABAHI, MediatorStar.com – MENGUNYAH sirih pinang, sesekali meludah di lantai tanah merah. Orangnya ringkih, berusia sekira enam puluhan. Mendekati tujuh puluh. Rabu (16/6/2021) siang sekira pukul 12.30 Wita, saya tiba di kampung adat itu, namanya Kampung Takpala, Desa Lembur Barat Kecamatan Alor Tengah Utara, Kabupten Alor. Sosok gesit yang terkenal sebagai penjaga kampung Takpala itu, menyambut kami penuh senyum.
Dia Abner Yetimau. Sejak tahun 1980-an, sudah menetap di kampung itu. Sebelumnya, tempat tinggalnya di bawah pegunungan. Dan Takpala hanya dihuni oleh beberapa keluarga. Karena berbagai alasan, dia lalu bersama orang tuanya menetap di sana, hingga sekarang.
Mulutnya tak henti mengunyah sirih, ketika kami tiba. Seorang teman lalu menyerahkan sebuah tas kresek berisi pinang ‘bonak’ dan sejumlah sirih, plus kapur. Itu semacam sapaan selamat dari kami sebagai tamu kepada sang pemilik kampung. Dia lalu mengajak kami duduk di sebuah banku panjang, yang terbuat dari bambu. Didesain sebaik mungkin hingga yang duduk pun nyaman. Angin siang itu, membuat kami merasa kerasan. Maklum, kampung itu berada di ketinggian dan berjarak Cuma sartu kilometer dari laut.
“Mau ganti baju sudah?,”demikian Abner, beberapa saat setelah kami berdiskusi mengenai tujuan berjunjung. Tak menunggu lama, kami pun mengiyakan. Seorang perempuan berusia sama, menuju sebuah rumah dek. Rupanya disitulah mereka menyimpan kain tenunan serta aneka asesories yang dipakaikan pada setiap tamu yang datang. Tak menunggu lama, saya sudah dipakaikan pakaian adat, lengkap dengan peralatan perang seperti ikat pinggang dari kulit kerbau, lima busur yang diselipkan di pinggang kanan, lalu sebilah pedang panjang di pinggang kiri, lengkap dengan rambut kuda hitam pekat berjuntai di ujung hulu pedang.
Hiasan kepala ada mahkota dari akar yang dililit kain merah, dan setiap ujungnya yang menjulang, dipasangi bulu ayam jantan yang elok. Semuanya merah. “Ini adalah pakaian perang. Jadi, peralatan perangnya harus lengkap, supaya kalau foto jadi bagus,”demikian Abner terus mengenakan saya beberapa asesories. Beda dengan kaum pria, ternyata busana perempuan sangatlah banyak. Ada anting dari muti, juga kalung berukuran lebar yang disilangkan, kain adat dan juga gelang kaki dai logam berwarna kekuning-kuningan. Semuanya berkaki telanjang.
Oh iya… Kampung adat takpala adalah situs yang terus dilestarikan karena kekhasannya. Baik itu asesories, juga kain yang disiapkan. Bahkan, kampung ini sudah menjadi ikon bagi wisatawan. Siapapun yang ke Alor, tidak lengkap kalau belum ke Takpala. “Ada beberapa orang yang bilang, disini semuanya masih asli. Kami senang karena masih ada sampai sekarang,”tegas Abner lagi.
Sebelumnya ada belasan KK, namun kini tersisa lima. Begitu pun rumah adatnya tidak banyak, semuanya berbentuk rumah panggung. Saat kami tiba, seorang ibu sedang menyiapkan jagung titi kepada kami. Ada suguhan kopi dan teh panas, serta jagung yang baru keluar dari wajan.
Sebuah mesbah dengan lingkar tengah 1,5 meter, terbuat dari batu, berada persis di tengah kampung. Disinilah sering dilakukan ritual adat yang sakral bagi mereka. Ada ritual memanggil hujan dan sebagainya. Menurut Abner, pernah di tahun sekian, hujan tidak turun selama berbulan-bulan. Maka diundanglah pemerintah kecamatan, dan mereka melakkukan ritual. Utusan Pemda lalu menuangkan air di mesbah, mereka pun menggelar upacara. “Habis tuang air, tidak lama kemudian sudah mendung,”ujar Abner yang terus mengunyah sirih. Rupanya dia sangat menikmati campuran yang pas dari sirih, pinang serta kapur dalam mulutnya.
Mesbah merupakan salah satu spot terbaik untuk foto. Tak jauh dari sana ada sebuah panggung kayu besar dengan tinggi sekitar 2,5 meter dengan luas panggung 3 X 3 meter. Menjadi tempat yang bagus untuk foto, karena saat berdiri atau duduk di anak tangga, maka latar belakangnya adalah jejeran lima rumah adat. Menjulang.
Kampung adat Takpala sudah menjadi destinasi kunjungan wisatawan baik domestik maupun mancanegara sejak tahun 1990-an. “Untung sekarang Covid sehingga tamu sudah jarang. Dulu, dalam satu hari biasanya ada tiga ratusan tamu yang datang. Paling banyak itu bule dari luar negeri. Mereka ada yang datang pake pakaian, tapi ada yang hanya nonton saja dan ambil foto,”demikian Abner lagi. Rupanya mereka memang menyiapkan pakaian, lalu disewa oleh setiap tamu. Berapa biayanya? Harga keluarga.
Takpala memang special, karena masyarakatnya ramah. Mereka welcome terhadap siapa saja yang mau berkunjung. Menyambut dengan ramah, mengajak makan jagung titi dan minum kopi, menyiapkan pakaian lalu menjadi penata gaya. Itulah keseharian mereka. Memang, mereka adalah petani ladang, namun di sela itu, dengan segala keberadaannya, mereka mau melayani siapa saja yang mau tahu lebih jauh tentang Takpala.
Takpala memang indah, mempesona, dan selalu menarik untuk didatangi. Kapan saja, diwaktu senggang. Untuk melepas penat, serta menikmati angin laut yang membuai mata, menenangkan pikiran. (stenly boymau)