(Hasil wawancara wartawan Lambertus Hurek)
Di balik kegersangannya, tanah Nusa Tenggara Timur melahirkan cukup banyak wartawan hebat. Salah satunya PETER APOLLONIUS ROHI, lebih dikenal dengan PETER A. ROHI. Pria kelahiran Pulau Sabu 14 November 1942 ini [nama Sabu-nya KORE ROHI) dikenal sebagai salah satu guru wartawan-wartawan muda di Indonesia.
Bagaimana meliput peristiwa secara mendalam. Bikin investigasi. Menulis feature yang hidup. Menggali sisi lain dari seorang tokoh meskipun orang biasa, wong cilik. Berani menghadapi risiko. Vivere pericoloso. Mengelola surat kabar dengan pendekatan idealisme.
Peter A. Rohi selalu berpesan:
“Ingat, wartawan itu bukan buruh, tapi intelektual. Pakailah otakmu. Banyak baca. Analisis. Bergaul sebanyak mungkin. Cari sumber sebanyak-banyaknya. Jangan lekas percaya pada informasi apa pun. Cek dan ricek.”
Peter A. Rohi tak asal bicara. Selama berkarier sebagai wartawan sejak 1970, dia menghasilkan banyak liputan panjang dan mendalam. Istilah sekarang: investigative reporting. Berkat kejeliannya, mengungkap banyak kasus yang justru tidak dirasakan warga dan pejabat setempat. Tumpukan harta karun di Riau. Air Danau Toba menyusut. Sisa tentara Jepang di hutan Morotai. Kelaparan di Sumba Timur. Fakta di balik penembakan misterius.
“Saya wartawan pertama yang menyusup ke Timor Portugis dan wartawan terakhir yang meninggalkan Timor Timur setelah kerusuhan jajak pendapat 1999,” ujar Peter A Rohi kepada saya.
Tulisan-tulisannya tentang Timor Timur [sekarang Republik Timor Leste] dimuat di sejumlah media tempatnya bekerja. Paling banyak di SINAR HARAPAN [yang diberedel rezim Soeharto] serta MUTIARA, tabloid milik Grup SINAR HARAPAN.
Peter yang keturunan raja lokal di Timor Barat memang sangat intensif mengikuti isu Timor Timur pada 1976-1999 menjadi provinsi ke-27 Indonesia. Saya melihat sendiri betapa dia sangat emosional saat bicara dalam sebuah diskusi tentang pro dan anti-integrasi di kampus Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya.
Peter menguraikan pandangannya tentang apa sebetulnya yang terjadi di Timor Timur. Begitu kompleksnya persoalan Timor Timur, sehingga Peter mengingatkan anak-anak muda Timtim, yang waktu itu hampir semuanya berjuang untuk ‘memerdekakan’ daerahnya dari Indonesia, tentang untung ruginya Timtim menjadi negara sendiri.
Menurut Peter A. Rohi, wilayah Nusatenggara Timur, Timor Leste, dan Sumbawa [sekarang] dulunya masuk Karesidenan Timor. Raja-raja, para intelektual, tokoh masyarakat dulunya ingin mendirikan negara sendiri, KERAJAAN TIMOR RAYA. “Mereka sudah punya wadah bernama TIMOR VERBOND. Ini langkah menuju kemerdekaan Kerajaan Timor Raya sebagaimana sebelum kedatangan Portugal dan Belanda,” tulis Peter A. Rohi dalam bukunya KAKO LAMI ANGALAI.
Rencana kemerdekaan ini buyar setelah Bung Karno dibuang ke Flores pada 1934-1938. Bung Karno, kata Peter, berhasil memengaruhi Timor Verbond sehingga pada 1935 partai nasionalis Timor itu berfusi dengan Partai Indonesia Raya. “Jadi, kita, orang Nusatenggara Timur, sebenarnya punya sumbangan besar dalam perjuangan mencapai Indonesia merdeka,” kata Peter A Rohi dalam berbagai kesempatan.
Peter Apollonius Rohi sejatinya tentara. Dia sempat menjadi staf message center di Pasukan Induk Korps Komando [Marinir] pada masa Trikomando Rakyat [Trikora]. Ini istilah Bung Karno dalam kaitan dengan operasi pembebasan Irian Barat, 1962-63.
Peter juga pernah terlibat di Detasemen Amfibi yang dipimpin Kolonel Muhammad Jusuf dan Letkol Solichin GP di Sulawesi. Kemudian menjadi komandan peleton Panser Intai Amphibi pada masa Dwikomando Rakyat [Dwikora], operasi di Kalimantan Utara, 1964.
Ternyata, karier bagus di TNI Angkatan Laut tak membuat Peter puas.
Pada 1970, suami WELMINTJE GIRI ini bikin kejutan. Dia mengembalikan mobil dan pistol inventaris kepada kesatuannya, Batalyon Tank Amfibi KKO. “Besoknya, saya berada di jalan-jalan melakukan peliputan untuk majalah sketsmassa [Surabaya]. Saya berada di tengah-tengah rakyat yang tertindas,” paparnya.
Latar belakang ini bisa menjelaskan mengapa Peter A. Rohi senantiasa menjadi orang lapangan selama karier jurnalistiknya. Kalaupun menjadi redaktur, redaktur pelaksana, hingga pemimpin redaksi, Peter A. Rohi tetap saja turun ke lapangan. Peter itu benar-benar wartawan kaki, orang lapangan, bukan orang kantoran. Dia mengandalkan bahan-bahan, data, yang digali dari lapangan, bukan meminta berita, fotokopi, atau kloning dari wartawan lain.
[BANYAK WARTAWAN SEKARANG SUKA MENG-COPY BERITA DARI TEMAN, INTERNET, RADIO, TELEVISI, DAN MALAS WAWANCARA LANGSUNG DENGAN SUMBER. BUDAYA COPY-PASTE INI MEMBUAT WARTAWAN-WARTAWAN KITA MENJADI SANGAT MANJA. MUTU JURNALISME AKHIRNYA MELOROT KE TITIK NADIR. SUDAH MENJADI RAHASIA UMUM, BANYAK WARTAWAN KITA TERNYATA TIDAK BISA MELIPUT DAN MENULIS BERITA DENGAN BAIK.]
Nah, setelah SKETSMASSA [Surabaya], Peter A Rohi diminta menjadi wartawan SINAR HARAPAN [Jakarta], PIKIRAN RAKYAT [Bandung], SUARA INDONESIA [Malang], JAYAKARTA [Jakarta], SURYA [Surabaya], SUARA BANGSA [Jakarta]. Kemudian merintis MEMORANDUM [Surabaya], SUARA PEMBARUAN [Jakarta], lalu merintis lahir kembalinya SINAR HARAPAN [Jakarta] pasca-Reformasi 1998. Terakhir Peter A. Rohi menjadi pemimpin redaksi sekaligus manajer umum KORAN INDONESIA di Jakarta.
Kutu loncatkah Peter A. Rohi di pers? Banyak teman wartawan yang bilang begitu. Tapi, saya kira, ini tak lepas dari tabiat Peter yang antikemapanan, idealis, suka tantangan. Begitu surat kabar eksis, manajemen redaksi jalan… maka Peter A Rohi keluar mencari tantangan lain. Bikin koran baru atau menghidupkan media-media yang sekarat. Begitu seterusnya.
“Om juga tidak suka dengan pemilik modal yang maunya mendikte terus. Ingat, wartawan bukan buruh atau kuli yang bisa diatur-atur semaunya,” ujar Peter A. Rohi. Karena itu, dia memutuskan eksit dari sebuah surat kabar terkenal di Jakarta.
Sejumlah bekas wartawan SUARA INDONESIA [seperti Abdul Wachid, Toto Sonata, Bambang Sukoco] memberi komentar positif untuk Peter A. Rohi. Pada 1980-an Peter dipercaya sebagai redaktur pelaksana sekaligus pemimpin redaksi de facto SUARA INDONESIA.
“Wartawan diberi kebebasan untuk berkreasi. Menulis apa saja asalkan akurat dan objektif,” ujar Abdul Wachid. “Sekarang sulit menemukan wartawan Indonesia seperti Peter A. Rohi,” puji Toto Sonata di kesempatan terpisah.
Meski diberi kekuasan penuh oleh Grup SINAR HARAPAN, kata Bambang Sukoco, Peter A Rohi bukanlah tipe atasan yang otoriter. “Pak Peter itu selalu bertindak sebagai guru, teman belajar. Wartawan muda dibimbing, diarahkan, sampai detail. Kami benar-benar bisa belajar banyak dari dia,” ujar Bambang Sukoco kepada saya.
Pada 1980-an perangkat telekomunikasi seperti telepon seluler, pager, belum ada. Sambungan telepon tetap pun langka. Dalam kondisi itu, tutur Bambang, Peter A. Rohi selalu memandu reporternya yang melakukan liputan di tempat jauh. Sampai si reporter menemui sumber atau tempat kejadian.
“Dia tanya apa saja kesulitan di lapangan dan memberikan bimbingan. Nggak marah-marah atau main perintah harus begini-begitu,” kenang Bambang Sukoco.
Saat mengelola SUARA INDONESIA, koran berpengaruh di Jawa Timur pada 1980-an, Peter A Rohi bikin liputan investigasi tentang pembunuhan misterius, biasa disingkat ‘petrus’. Sebagai wartawan humanis, Peter tidak bisa menerima kebijakan rezim Orde Baru yang menghabisi nyawa manusia tanpa proses pengadilan. Manusia diperlakukan layaknya binatang. Tulisan-tulisan tentang ‘petrus’ rupanya kurang disukai penguasa.
“Tiba-tiba Peter A. Rohi dikirimi paket kepala manusia,” tutur Bambang Sukoco.
Toh, teror kepala manusia itu tidak membuat Peter takut. Dia terus menggali berbagai peristiwa di masyarakat dan menyusunnya sebagai reportase yang memikat. Saat semua wartawan buru-buru meninggalkan Timor Timur yang sedang dilanda kerusuhan pascajajak pendapat, Peter A. Rohi justru memilih bertahan.
“Saya percaya Tuhan selalu melindungi saya dalam setiap tugas saya sebagai wartawan,” katanya.
Darah perjuang dan aktivis Peter A. Rohi rupanya menurun ke salah satu anaknya, Engelbert Johannes Rohi alias Jojo Rohi. Jojo pernah aktif di Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) di Surabaya. Jojo pun berbakat menulis seperti ayahnya, tapi rupanya enggan berkarier di dunia jurnalistik.
Benar kata Toto Sonata, wartawan senior di Surabaya, tidak mudah melahirkan wartawan sekaliber Peter A. Rohi, apalagi di era pers industri. Wartawan sekarang cepat masuk, cepat keluar. Sangat sedikit yang meninggalkan jejak di jagat jurnalistik.
“Sekarang mana ada investigative reporting? Mana ada features yang hidup? Wartawan-wartawan sekarang ini, menurut saya, hanya sekadar karyawan bagian peliputan [reporter] dan karyawan bagian penyuntingan [redaktur]. Sistemnya tidak memungkinkan lahirnya wartawan sekelas Peter A. Rohi,” ujar Toto Sonata.
Toto ini bekas anak buah Peter A. Rohi, yang kini kembali ke komunitas seniman Surabaya dan menjadi pengamat media massa. Capek jadi wartawan!
sumber : http://hurek.blogspot.com/2007/03/peter-rohi-wartawan-pejuang.html
NB: Tulisan ini adalah Hasil wawancara wartawan Lambertus Hurek, dan dicopy Mediatorstar.com dari sebuah status Facebook milik akun Nicky Uly.