Memaknai Kemerdekaan dan Kemiskinan di NTT

Opini125 Dilihat

Oleh: Omega DR Tahun, M.Kes *)

MEMASUKI usianya yang tidak lagi muda, Negara Kesatuan Republik Indonesia telah melewati proses panjang dalam bernegara dan membangun peradaban. Pada tanggal 17 Agustus 2021, bangsa ini telah memasuki usia yang ke 76 tahun. Berbagai peristiwa telah dilewati dan berbagai pencapaian pun telah diperoleh, geliat pembangunan terus terjadi di berbagai pelosok negeri. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dalam meng-akselerasi kemajuan pembangunan di berbagai sendi kehidupan, energi bangsa ini terus berkonsentrasi untuk mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana yang tertuang dalam Undang – Undang Dasar Negera Kesatuan Republik Indonesia 1945.

Wujud nyata upaya pemerintah dapat kita rasakan dari berbagai pembangunan yang terus dilakukan secara simultan di berbagai wilayah. Dari Aceh hingga Papua, pemerintah telah berupaya melakukan pemerataan pembangunan, seperti  infrastruktur, pembangunan ekonomi dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Di balik upaya pemerintah pusat dalam melakukan pemerataan pembangunan di berbagai wilayah di Indonesia, masih ada wilayah yang langkahnya belum secepat langkah pemerintah pusat, bahkan ada wilayah yang justru langkahnya melambat bahkan mundur, angka kemiskinannya meningkat bersamaan dengan bertumbuhnya perekonomian di bagian wilayah lainnya. Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah salah satu propinsi yang mengalami perlambatan dalam pembangunan ekonomi, angka kemiskinan di wilayah ini justru mengalami peningkatan.

Baca Juga  Mentor Politik Prabowo

Kemiskinan, Gizi Buruk dan Stunting di NTT

Nusa Tenggara Timur mengalami lonjakan angka kemiskinan sebesar 0,31% dari 20,90 % menjadi 21,21% (September 2020). BPS (Badan Pusat Statistik) NTT mencatat bahwa ada penambahan jumlah orang miskin di NTT sebesar 19.770, sehingga jumlah menjadi 1.173.530 orang.

Selain angka kemiskinan, BPS pun mencatat bahwa Propinsi NTT menduduki posisi tertinggi kasus gizi buruk secara nasional, rasio gizi buruk di NTT mencapai 9,7, berada jauh di atas rasio nasional, yaitu di angka 1,7. Berikutnya, menurut Kementerian Kesehatan (2018) mencatat bahwa kasus stunting di NTT juga tertinggi secara nasional, berada di angka 42,7%.

Selanjutnya, nilai IPM (Indeks Pertumbuhan Manusia) NTT pun menempati posisi ketiga terendah secara nasional setelah Papua dan Papua Barat, pertumbuhan IPM NTT hanya di angka 0,73% lebih rendah dari IPM nasional yaitu 0,91%.

Menyimak angka dan data tentang NTT sebagai Propinsi ketiga termiskin, kasus gizi buruk dan stunting tertinggi serta IPM terendah ketiga secara nasional, semestinya pemerintah daerah ini lebih serius dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang ada, namun ironisnya NTT justru menduduki posisi keempat propinsi terkorup di Indonesia.

Baca Juga  Kuasa Rakyat versus Kuasa Uang

Program Pemerintah

Terdapat beberapa program unggulan pemerintahan Propinsi NTT telah diupayakan guna  meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat, pemimpin di wilayah ini telah berupaya untuk menstimulus pembangunan ekonomi masyarakat dengan berbagai cara, namun sepertinya belum ada perubahan yang signifikan. Program unggulan gubernur NTT, seperti: penanaman kelor, tanam jagung panen sapi serta pengembangan ikan kerapu kelihatannya belum berhasil.

Gubernur NTT saat ini memiliki ide/gagasan  besar yang cemerlang dalam membangun daerah  ini. Berbagai program yang digaungkan terdengar terukur dan optimis terhadap kemajuan pembangunan, namun kemampuan bawahnya tidak selaras dengan gagasan besar Sang Gubernur. Kemampuan bawahan mendefinisikan dan eksekusi program masih rendah, para staf belum mampu bekerja sesuai harapan. Akhirnya yang tampak di publik adalah program – program Sang Gubernur terkesan sia-sia dang buang-buang anggaran.

Kemerdekaan Konseptual dan Kontekstual

Kemerdekaan semestinya tidak hanya dimaknai secara konseptual, namun kemerdekaan sesungguhnya harus juga dimaknai secara kontekstual dalam kehidupan bernegara. Secara legal-formal atau politis yuridis bangsa ini memang sudah merdeka, bahwa Indonesia telah terbebas dan merdeka dari pengaruh kolonialisme dan imperialisme. Namun, tinjauan kita pada aspek kultural, sosiologis dan ekonomis, apakah demikian?

Dalam tulisannya, Gatut Priyowidodo (2014) menyatakan bahwa kemerdekaan adalah fitrah manusia dimanapun dan kapanpun. Bahwa masih ada individu/rakyat yang belum merdeka sama halnya dengan dehumanisasi kemerdekaan itu sendiri. Benarkah kemerdekaan itu telah dirasakan sebagai sebuah kesaksian individual ? Jawabannya pasti beragam. Stratifikasi bahkan segresi sosial turu pula menciptakan suasana merasakan kemerdekaan itu berbeda – beda pula. Bagi mereka yang banyak memperoleh previlise, maka suasana merdeka itu adalah realitas empirik. Sementara, bagi mereka yang masih terus bergulat dengan kemiskinan dan ketidakpastian hidup, merdeka adalah cita-cita maha panjang dalam rute perjalanan nan terjal.

Baca Juga  Pilkada: Kompetisi Mencari Pemimpin, Bukan Mencari Broker Proyek Nasional

Pada akhirnya kita semua beharap bahwa perayaan HUT kemerekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ke 76 dapat menjadi momentum refleksi  tentang peran berbagai pihak dalam mencari solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat saat ini.  Kemiskinan, ketimpangan, kelaparan, ketidakadilan, masalah penyakit dan masalah lainnya merupakan beban bersama. Oleh karena itu, penyelesaian berbagai persoalan yang ada di NTT bukan semata-mata tugas pemerintah, kerjasama dan kolaborasi pentahelix diantara semua elemen (pemerintah, akademisi, badan/pelaku usaha, masyarakat/komunitas dan media) menjadi penting dalam menstimulus percepatan pembangunan. Kiranya sinersitas yang terbangun dapat mewujudkan cita – cita bangsa sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. ***

*) Akademisi dan Pemerhati Sosial

Jangan Lewatkan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *