Penulis: Daniel Tonu
Kota Kupang, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, dikenal dengan julukan “Kota Kasih”, sebuah akronim bermakna: Karya, Aman, Sehat, Indah, dan Harmonis. Lebih dari sekadar sebutan, “Kasih,” dalam dalam konteks kultural serta spiritual masyarakatnya yang mayoritas Kristiani, adalah inti dari sebuah ajaran moral dan etika sosial yang mendalam—cinta kasih yang tulus, tanpa syarat, dan merangkul. Namun, di tengah hiruk pikuk modernitas dan dihadapkan pada tantangan urbanisasi yang tak terhindarkan, muncul pertanyaan mendasar: Seberapa relevankah dan sungguhkah Kota Kasih telah dan terus mengasihi? Opini ini berargumen bahwa untuk integritas dan potensi sejatinya, Kota Kasih harus melampaui akronim, ia harus secara aktif dan nyata mengamalkan prinsip kasih dalam setiap aspek kehidupan publiknya.
Julukan Indah bukan sekadar identitas geografis, melainkan sebuah cita-cita etis yang mengikat seluruh warganya dalam semangat solidaritas, toleransi, dan kepedulian. Namun, makna filosofis dari “kasih” ini kembali diuji dan dimaknai ulang melalui sebuah kebijakan konkret: Surat Edaran Walikota Kupang mengenai pembatasan waktu operasional kegiatan malam. Kebijakan ini, yang membatasi berbagai aktivitas musik dan hiburan malam hingga pukul 22.00 WITA, pandangan pertama mungkin terlihat sebagai intervensi administratif yang kaku. Namun, ketika dilihat dari sisi yang lain, surat edaran ini menawarkan sebuah lensa untuk memotret kembali hak, tanggung jawab, dan tatanan ideal sebuah komunitas.
Dialektika Philia dan Nomos: Bahwa relevansi kebijakan ini adalah ketegangan abadi antara kebebasan individu dan kebaikan bersama (bonum commune). Dalam konteks “Kota Kasih”, ini adalah dialektika antara Philia (cinta persaudaraan, kasih, yang menjadi dasar julukan kota) dan Nomos (hukum, tatanan, yang termanifestasi dalam surat edaran). Pentingnya philia dalam membentuk polis (negara-kota) yang baik. philia adalah lem yang merekatkan warga, bahkan lebih penting daripada keadilan itu sendiri. Surat edaran ini dapat dilihat sebagai upaya untuk menaturalisasi philia melalui nomos. Batasan waktu 22.00 WITA bukanlah sekadar jam; ia adalah penegasan kolektif bahwa philia warga Kota Kupang juga mencakup kasih sayang terhadap ketenangan dan hak istirahat tetangga.
Dalam bingkai Nomos, batasan waktu berfungsi sebagai prinsip non-intervensi negatif. Artinya, pemerintah, melalui hukumnya, mencegah satu pihak (pelaku usaha malam atau individu yang berpesta) untuk secara negatif mengganggu hak asasi pihak lain (warga yang membutuhkan istirahat, keamanan, atau ketenangan) setelah jam yang disepakati bersama. Ini adalah tanggung jawab publik yang diambil alih oleh negara untuk melindungi philia dari potensi konflik yang timbul dari kebebasan yang tak terbatas.
Untuk memperdalam makna “Kasih” dalam konteks ini, kita dapat merujuk pada Etika Tanggung Jawab dari Emmanuel Levinas. Levinas berargumen bahwa etika tidak dimulai dari kesadaran diri (ego), tetapi dari perjumpaan dengan Wajah Yang Lain. Wajah Yang Lain adalah representasi dari kerentanan mutlak dan menuntut respons tanpa syarat—sebuah tanggung jawab tak terbatas. Dalam keramaian malam, Wajah Yang Lain hadir sebagai Wajah Anak Sekolah: Yang butuh tidur untuk belajar; Wajah Pekerja: Yang harus bangun pagi untuk menafkahi keluarga; Wajah Orang Sakit dan Lansia: Yang membutuhkan ketenangan.
Surat edaran Walikota Kupang, dari perspektif Levinasian bahwa artikulasi institusional dari tanggung jawab tak terbatas ini. Ia memaksa pelaku kegiatan malam untuk melihat Wajah Yang Lain yang tersembunyi di balik dinding rumah-rumah sunyi setelah pukul 22.00 WITA. Kasih (philia) dalam konteks ini bukan lagi sekadar perasaan hangat, melainkan aksi nyata membatasi diri demi ketenangan dan kesejahteraan Wajah Yang Lain. Kebijakan ini secara filosofis mengajarkan bahwa kebebasan individu berakhir di titik di mana ia merampas kedamaian orang lain.
Dari sudut pandang eksistensialisme, pembatasan sering kali dianggap sebagai antitesis dari kebebasan. Namun, filsuf eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre dan Albert Camus mengajarkan bahwa kebebasan mutlak adalah absurditas yang tidak memiliki makna. Justru, batas (limit) adalah yang memberikan kontur dan makna pada tindakan dan pilihan kita.
Batasan dan Otoritas Publik: Pembatasan jam 22.00 WITA memaksa warga untuk memilih bagaimana mereka menghabiskan “waktu luang” mereka. Kebebasan untuk berkegiatan malam tidak dihapus, melainkan dikonstruksi ulang dalam kerangka waktu yang lebih teratur. Ini mendorong kreativitas dalam keterbatasan—bagaimana menyelenggarakan kegiatan yang bermakna tanpa merugikan publik. Waktu sebagai Dasein: Martin Heidegger menyebut keberadaan manusia sebagai Dasein (“ada-di-sana”) yang secara fundamental terikat pada waktu (temporality). Waktu, dalam arti ini, adalah sumber kecemasan dan sekaligus sumber makna. Kebijakan jam malam secara simbolis menegaskan kembali otoritas publik atas ritme kota, mengarahkan energi kolektif ke arah istirahat dan pemulihan, yang pada akhirnya memperkuat kualitas Dasein kolektif di Kota Kupang.
Estetika dan Keseimbangan Kota, Sebuah kota yang baik tidak hanya diukur dari pertumbuhan ekonominya, tetapi juga dari keseimbangan estetika antara hidup dan mati, gerak dan diam, bising dan sunyi. Kebijakan ini adalah sebuah intervensi estetika publik. Kota Kasih yang ideal adalah kota yang dapat menawarkan kontemplasi dan ketenangan setelah hiruk pikuk siang hari. Pembatasan jam operasional memberikan ruang dan waktu bagi keheningan (silence). Dalam keheningan bukanlah ketiadaan suara, melainkan ruang bagi refleksi, perenungan, dan pertumbuhan spiritual. Kebijakan ini, tanpa disadari, mempromosikan ritme hidup yang sehat secara batin, memungkinkan warga untuk menyambut pagi dengan energi baru—sebuah siklus yang konsisten dengan semangat kota yang berlandaskan “Kasih” (kepedulian menyeluruh).
Tentu saja, kebijakan Walikota Kota Kupang ini tidak luput dari kritik. Argumen tentang liberalisme akan menuduh pembatasan ini sebagai paternalisme negara yang melanggar hak untuk menentukan nasib sendiri (self-determination). Dari sudut pandang utilitarianisme murni, kebijakan ini dapat dilihat sebagai kegagalan jika kerugian ekonomi (penurunan pendapatan usaha malam) melebihi keuntungan kolektif (peningkatan ketenangan). Namun, sintesis filosofisnya terletak pada konsep Keadilan Komunitarian. Dalam pandangan Komunitarianisme (seperti yang diajukan oleh Michael Sandel), individu adalah bagian tak terpisahkan dari komunitas, dan kebaikan bersama mendahului hak individu. “Kota Kasih” adalah sebuah komunitas moral yang telah memilih kasih sebagai nilai fundamentalnya. Oleh karena itu, batasan waktu adalah kontrak sosial etis yang ditandatangani oleh semua warga demi mempertahankan karakter moral dan kualitas hidup kolektif Kota Kupang.
Surat Edaran Walikota Kupang tentang Batas Waktu Pelaksanaan Kegiatan Malam di Kota Kupang adalah sebuah dokumen etis yang disamarkan sebagai instrumen administratif. Ia adalah Nomos yang berupaya mengabadikan Philia. kebijakan ini bukan sekadar mengatur jam operasional, melainkan sebuah pernyataan mendalam tentang Tanggung Jawab Levinasian terhadap Wajah Yang Lain. Pencarian Makna Eksistensial melalui batasan. Penegasan Keadilan Komunitarian di mana ketenangan tetangga adalah hak moral yang lebih tinggi daripada kebebasan berbisnis yang tidak terkontrol. Melalui pembatasan ini, Kota Kupang sedang mendefinisikan ulang makna “Kasih” dari sekadar slogan menjadi tindakan nyata membatasi diri demi kesejahteraan kolektif. Sebuah Kota Kasih yang matang adalah kota yang memahami bahwa cinta sejati terkadang membutuhkan batas yang tegas untuk memastikan ruang bagi semua orang untuk hidup, bernapas, dan beristirahat. ***
Penulis warga Kota Kupang