Kebenaran Hukum Dalam Aliran Waktu

Opini299 Dilihat

Oleh: Alexsander Frengklyn Tungga, S.H., M.Hum *)

Dalam hiruk pikuk penegakan hukum kasus korupsi, masyarakat sering terjebak dalam kesimpulan yang terburu-buru, seolah-olah setiap dugaan penyuapan dan perintangan penyelidikan (obstruction of justice) dapat dengan mudah dibuktikan hanya karena adanya narasi publik yang berkembang. Padahal, dalam praktiknya, membuktikan kedua jenis tindak pidana ini sangatlah kompleks, teknis, dan memerlukan kehati-hatian tinggi.

Sebagai akademisi dan praktisi hukum, saya memandang penting untuk menegaskan bahwa hukum tidak boleh tunduk pada tekanan politik, opini media, atau persepsi moral masyarakat semata, melainkan harus ditegakkan berdasarkan asas legalitas, alat bukti yang sah, dan prinsip due process of law.

Filsafat Pembuktian: Dari Herakleitos hingga Satjipto Rahardjo.

Sudah saatnya para penegak hukum memahami filsafat hukum secara lebih mendalam. Filsuf Yunani kuno, Herakleitos, menyatakan bahwa “panta rhei”—semua mengalir. Tidak ada yang tetap. Pemikiran ini kemudian dikembangkan oleh Prof. Satjipto Rahardjo dalam paradigma hukum progresif—bahwa hukum harus bergerak mengikuti perkembangan zaman, bukan terkungkung dalam teks statis yang beku.

Baca Juga  Pungutan dan Sumbangan Sekolah

Dalam konteks ini, hukum pembuktian pidana harus mampu mengikuti sifat laten, rahasia, dan rumitnya kasus-kasus seperti penyuapan dan obstruction of justice. Tidak semua kecurigaan bisa dijadikan kesimpulan hukum. Dan tidak semua persepsi publik bisa diterjemahkan sebagai pembuktian.

Realitas Hukum: Antara Dugaan dan Bukti

Perlu disadari bahwa penyuapan (Pasal 5, 11, 12 UU Tipikor) dan perintangan penyidikan (Pasal 21 UU Tipikor) adalah delik yang secara alamiah bersifat tertutup. Transaksinya sering tidak kasatmata. Bukti langsung biasanya langka. Karena itu, banyak dakwaan dalam perkara ini hanya mengandalkan alat bukti tidak langsung (indirect evidence) seperti keterangan saksi, komunikasi digital, atau indikasi keuangan.

Namun hukum acara pidana kita tetap mewajibkan adanya pembuktian berdasarkan dua alat bukti yang sah dan disertai keyakinan hakim (Pasal 183 KUHAP). Maka, di sinilah tantangannya: menghadirkan kebenaran hukum secara objektif, bukan membangun asumsi atau rekayasa narasi.

Baca Juga  Ketika Kami Dihina, Padahal Kalianlah Yang Menikmati Integrasi

Dalam praktiknya, tidak jarang perkara berujung gagal pembuktian karena penegak hukum terlalu tergesa-gesa menarik kesimpulan, atau karena intervensi media telah membentuk persepsi bersalah lebih dulu sebelum pengadilan memutus.

Obstruction of Justice: Delik Baru, Pembuktian Lama

Pasal 21 UU Tipikor tentang obstruction of justice adalah delik yang relatif baru dalam sistem hukum Indonesia. Tapi delik ini bersifat sangat lentur, multitafsir, dan bisa berbahaya jika tidak dikonstruksi secara cermat. Jika tidak ada batas yang jelas antara tindakan melindungi hak konstitusional seseorang dan tindakan menghalangi proses hukum, maka siapa pun bisa dituduh melakukan obstruction.

Contohnya, seorang pengacara yang menasihati klien untuk diam dalam pemeriksaan bisa saja dituduh “menghalangi penyidikan”, padahal itu adalah bagian dari hak konstitusional untuk tidak memberatkan diri sendiri (privilege against self-incrimination). Maka jika tanpa dasar dan bukti kuat, tuduhan obstruction bisa menjadi alat pembungkaman atau bahkan kriminalisasi.

Baca Juga  Segalanya Mengalir, Maka Hukum Pun Harus Bergerak

Penutup: Keadilan Tidak Boleh Tergesa

Kita tentu menghendaki negara yang bersih dari korupsi. Tetapi perjuangan melawan korupsi tidak boleh mengorbankan asas keadilan dan kepastian hukum. Dalam hal ini, penting bagi penegak hukum—baik KPK, Kejaksaan, maupun Kepolisian—untuk bekerja secara profesional, tidak tergesa, dan tidak larut dalam popularitas opini sesaat.

Dugaan penyuapan dan perintangan penyelidikan tidak boleh dianggap remeh, tetapi juga tidak boleh dianggap pasti terbukti hanya karena tekanan atau ekspektasi publik. Sebab pada akhirnya, apa yang menentukan bukan dugaan, melainkan pembuktian.

Dan pembuktian, seperti hukum itu sendiri, memerlukan logika, metode, nurani, dan kehati-hatian. Bukan kegaduhan. (***)

 

*) Dosen dan Advokat – Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta

Posting Terkait

Jangan Lewatkan