Yonatan H.L Lopo, S.IP, M.A *)
Publik perlu mewaspadai pola politik uang dalam bentuk proyek gentong babi. Politik uang tidak hanya berkaitan dengan pembelian suara (Vote Buying). Salah satu varian politik uang adalah pork barrel politik atau politik gentong babi yang sering terjadi menjelang pemilu atau pilkada. Pork barrel adalah bentuk penyaluran bantuan materi dalam bentuk hibah, bansos, atau proyek pekerjaan umum ke daerah pemilihan, Kabupataen/Kota bahkan desa dengan tujuan mendapatkan insentif elektoral, terutama akan dilakukan oleh Incumbent, atau kandidat yang secara kuat terasosiasi dengan rezim politik yang sedang berkuasa.
Karakter utama dari politik gentong babi adalah pemanfaatan uang yang berasal dari dana publik, atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/D) untuk kepentingan politik electoral. Tradisi ini sebenarnya bermula di Amerika Serikat, pada tahun 1700-an, Pada masa itu, daging babi yang diasinkan dan diawetkan disimpan dalam gentong kayu yang besar, dan para borjuis memberikan daging babi asin dalam gentong sebagai upah bayaran. Para budak ini akan berebut untuk mendapatkan daging tersebut, yang mencerminkan betapa berharganya barang dalam gentong itu bagi mereka.
Dalam konteks politik modern, politik gentong babi dilakukan para kandidat dengan cara membawa banyak proyek APBN/APBD ke daerah yang potensial untuk mendapatkan suara. Tujuan utamanya adalah untuk menghibur rakyat (pemilih) dan menciptakan kesan seolah-olah kandidat tersebutlah yang paling berjasa membawa proyek-proyek tersebut ke daerah.
Model politik gentong babi semacam ini memiliki beberapa implikasi negative. Pertama, berpotensi merusak rasionalitas pemilih. Publik dimanipulasi dengan beragam bantuan sosial dan juga proyek infrastruktur, yang diklaim sebagai jasa dan bantuan perorangan. Padahal, sejatinya APBN/APBD adalah milik public. Kedua, politik gentong babi menjadikan kompetisi pilkada menjadi bias dan tidak setara. Pemerintah Propinsi memang adalah kepanjangan tangan pemerintah pusat, tetapi juga merupakan daerah otonom. Sehingga para kandidat harusnya focus pada program, visi dan misi. Ketiga, Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur bukan kompetisi untuk mencari broker proyek pemerintah Pusat, melainkan mencari pemimpin NTT 5 tahun ke depan. Politik Gentong babi berpotensi mendegradasi makna pilkada menjadi sebatas pertarungan antarblok politik di level Pusat. (***)
*) Akademisi