Oleh: Dahlan Iskan
Senin 05-09-2022,04:05 WIB
“TADI isi bensin, kok beda ya harganya. Yang di Karawang tadi Rp 7000-an. Di Sragen ini kok Rp 10 ribuan ya….”.
Teman saya itu dalam perjalanan dari Jakarta ke Surabaya. Ia tidak memonitor berita. Ia tidak tahu ada kenaikan harga BBM, mendadak, ketika ia berada di tengah perjalanan dari Karawang ke Sragen. Di hari Sabtu lalu.
Ia jadi saksi betapa mendadak pengumuman itu. Di akhir pekan pula. Saya jadi ingat Pak Jusuf Kalla. Cara seperti itu telah menjadi bagian dari kecerdikannya. Pernah pada zaman Pak JK, harga BBM diumumkan justru di hari akhir menjelang bulan puasa.
Zaman Pak JK menjabat wakil presiden itu demo pasti meledak di setiap kenaikan harga bahan bakar minyak. Maka momentum mengumumkannya menjadi penting. Di bulan puasa konsentrasi umat beribadah. Berpuasa. Pun akhir pekan. Potensi demo turun drastis. Perhatian masyarakat di akhir pekan adalah pada liburan.
Sayangnya medsos tidak mengenal puasa. Juga tidak mengenal hari libur akhir pekan. Maka keributan tetap terjadi. Di medsos. Hanya di medsos. Toh akhirnya kenaikan harga BBM itu harus diterima.
Memang hanya ekonom Kwik Kian Gie yang tervokal menolak kenaikan harga BBM. Ia tidak bisa mengerti alasan pemerintah yang didengungkan selama ini: subsidi yang besar. Yang kalau ditotal mencapai Rp 502 triliun.
Ekonom Anthony Budiawan juga tidak kalah vokal. Tapi saya menganggap Anthony itu Kwik Kian Gie juga. Satu lembaga kajian di Jakarta. Satu almamater di Rotterdam, Belanda.
Pak Kwik menelepon saya. Ia tidak habis pikir bagaimana di negara Pancasila perhitungan ekonominya ikut kapitalis. “Bagaimana ya cara meyakinkan para ekonom itu?” tanyanya.
Anthony punya cara sendiri. Ia terus menulis. Memperjuangkan pemikirannya itu. Tiap hari. Bahkan bisa sehari dua kali. Ia sebarkan tulisan pendek itu ke media. Juga lewat medsos pribadinya.
Rasanya, di negeri ini, hanya dua orang itu yang pemikiran ekonominya berseberangan dengan kebijakan pemerintah.
Rakyat punya pemikiran sendiri. Mereka kelompok yang tidak banyak berdaya. Mereka memilih cari cara sendiri. Agar bisa lebih hemat BBM.
Misalnya, ada pertanyaan seperti ini. Di medsos. Yang menjawab pun ribuan. Pertanda mereka satu nasib. “Mana yang lebih hemat, membeli BBM berdasar nilai uang, atau berdasar jumlah liter”.
Maksudnya, ketika Anda membawa sepeda motor ke pompa bensin, pilih mengatakan “membeli bensin Rp 20.000” atau “membeli bensin 2 liter?”.
Bukankah itu sama saja?
Ternyata tidak. Lebih hemat kalau Anda mengatakan ingin membeli bensin berapa rupiah. Bukan ingin membeli bensin berapa liter.
“Kalau saya pakai liter pilihannya terbatas, 1 liter, 2 liter atau 3 liter. Tiga+liter adalah kapasitas maksimal tangki bensin motor saya. Belum pernah saya lihat (gak tahu juga apa bisa) orang pesan 1.5 liter atau 2,75 liter. Ini contohnya. Pilihannya cuma bulat 1,2, 3 itu saja,” tulisnya di Medsos. Ia mengaku bernama Roland Ruben. Ia bekerja sebagai tukang Gojek sejak 2015.
“Katakanlah seliter Pertalite Rp 7.650. Padahal saya hanya butuh sekitar 1.5 liter. Saya gak pernah bilang isi bensin Pertalite 1.5 liter. Paling mudah cukup bilang beli Pertalite Rp 10rb,” katanya.
“Lagipula kebanyakan petugas yang saya saksikan di SPBU lebih suka kita beli dengan nominal. Gimana loe cuman punya duit selembar 10 ribuan. Masak loe beli seliter, rempong cari kembaliannya. Mending di-fix-kan jadi 10 ribu saja dah,” tambahnya.
Begitulah orang kecil memperhitungkan cara berhemat. Lima ratus rupiah pun diperhitungkan. Bahkan ada yang ingin menghemat lewat pilihan ini: pilih isi sampai penuh atau tidak.
Ada yang benar-benar menghindari kata-kata “isi penuh”. Itu bikin boros.
“Saya kurang suka kalau isi full tank. Alasan saya saat tank sudah hampir penuh, Si petugas akan memencet-mencet berkali-kali nozzle-nya. Saya pernah perhatikan saat ngisi untuk motor, sekali “crott” (maaf saya nggak menemukan kata yang lebih baik), di indikatornya bisa naik 1.000 rupiah. Padahal paling setengah gelas aja nggak. Udah gitu sering banget bensinya meluap ke mana-mana, karena dipaksain harus penuh tankinya,” tulis Alodie Orella dari Yogyakarta.
Anda mungkin bisa bermandi BBM. Pun sampai berenang di dalamnya. Tapi pembicaraan menghemat BBM di medsos seperti itu luar biasa banyaknya. Mereka sedih BBM kian mahal. Tapi hanya itu yang bisa mereka lakukan. Cari cara berhemat sampai memikirkan sekali crot itu dampaknya seperti apa.
Rupanya ada satu pompa bensin yang peka terhadap isu hemat seperti itu. Di saat Pertamina menaikkan harga BBM di stasiunnya, stasiun bensin satu ini justru menurunkannya: SPBU Vivo. Adanya di Jakarta selatan. Baru satu itu. Milik asing. Milik perusahaan Swiss. Bekerja sama dengan perusahaan Inggris.
Vivo memang lambat berkembang di Indonesia. Dua tahun lalu Vivo sudah bikin kejutan yang sama. Ketika terjadi kenaikan harga BBM, kala itu, Vivo menurunkannya. Setelah itu Vivo justru tutup. Pemerintah menganggap Vivo masih ilegal. Belum melengkapi izin-izinnya.
Setelah izin itu beres Vivo buka lagi. Baru satu di Jakarta selatan itu. Dan kini Vivo bikin kejutan pula. Harga Revo89, produk Vivo yang setara dengan Pertalite, justru turun jadi Rp 8.900. Padahal Pertalite-nya Pertamina naik menjadi Rp 10.000/liter.
Heboh.
Bagaimana bisa.
Rupanya induk perusahaan Vivo memang punya strategi khusus. Yakni menyasar konsumen miskin. Lihatlah fokus operasi Vivo di dunia: Vivo menguasai pompa bensin di seluruh negara Afrika. Vivo punya 2.400 lebih pompa bensin di 23 negara di Afrika.
Tentu banyak juga yang mempersoalkan kualitas Revo89. Mungkin saja tidak sebagus Pertalite. Level RON-nya bisa sama-sama 89, tapi siapa tahu ada unsur tertentu yang membuat beda.
Ada juga yang menghubungkan dengan sumber bahan baku mereka. Induk perusahaan ini sudah sangat global. Jaringannya di seluruh dunia. Pabrik penyulingannya ada di mana-mana termasuk di Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.
Bisa saja induk Vivo punya anak perusahaan yang lincah: bisa membeli bahan baku dari Iran atau Rusia. Yang Anda pun sudah tahu: harganya jauh lebih murah.
Pemerintah tentu diuntungkan. Rakyat punya banyak pilihan. Tapi bisa juga pemerintah merasa terpojok: bagaimana mungkin yang tidak disubsidi bisa lebih murah dari yang disubsidi.
Vivo memang baru punya satu SPBU tapi kehadirannya sudah serasa 1000. (Dahlan Iskan)