Jakarta (MEDIATOR)—Ada yang menarik dari amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perselisihan hasil pemilihan umum bupati (PHPU Bup) Kabupaten Belu dengan perkara Nomor 100/PHPU.BUP-XXIII/2025. Dalam PHPU ini, ternyata MK menghadirkan Prof Yafet Yosafet Wilbel Rissy sebagai Ahli Pihak Terkait. Saat itu, putra Rote kelahiran Betun, Kabupaten Malaka-NTT ini membuka sejumlah dalil hukum sehingga MK akhirnya menyatakan tidak dapat menerima permohonan pasangan calon bupati dan wakil bupati nomor urut 2 Taolin Agustinus-Yulianus Tai Bere selaku Pemohon.
Dilansir Mediatorkupang.com dari website www.mkri.id menyebutkan, pemohon diketahui mendalilkan calon wakil bupati nomor urut 1 Vicente Hornai Gonsalves tidak memenuhi syarat (TMS) pencalonan, karena pernah lakukan tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak.
Dalam putusan disampaikan oleh Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi di Ruang Sidang Pleno, Gedung I MK, Jakarta, Senin (24/2/2025) “Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Suhartoyo.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyampaikan pertimbangan Mahkamah, bahwa Vicente Hornai Gonsalves memang pernah dihukum penjara selama 11 bulan pada 17 Januari 2004. Hal tersebut tertuang dalam Putusan Pengadilan Negeri (PN) Atambua Nomor: 186/PID/B/2003/PN.ATB.
Gonsalves dinyatakan bersalah karena melanggar Pasal 332 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Mahkamah berpendapat bahwa tersebut mengatur mengenai Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang, sebagaimana termaktub dalam BAB XVIII.
“Sementara itu, ketentuan yang mengatur mengenai kejahatan seksual terdapat dalam BAB yang berbeda, yaitu BAB XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan. Oleh karena itu, tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih lanjut,” ujar Arief.
Di samping itu, Vicente Hornai Gonsalves juga sudah menyampaikan statusnya sebagai mantan narapidana. Sebab dalam Formulir Pernyataan Surat Rekomendasi Catatan Kriminal yang dikeluarkan Kepolisian Resor Belu NTT, calon wakil bupati nomor urut 1 itu dengan tulisan tangan telah menerangkan bahwa dirinya pernah dihukum pada 2004 dan sudah diputus di PN Atambua.
“Sehingga menurut Mahkamah, pengusulan bakal calon, pemeriksaan bakal calon, hingga penetapan calon telah dilaksanakan sesuai dengan mekanisme, tata cara, dan prosedur yang ditentukan peraturan perundang-undangan,” ujar Arief.
Karena tidak dapat dibuktikannya dalil pokok permohonan Pemohon, pemberlakuan Pasal 158 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) tidak beralasan untuk disimpangi. Pemohon tidak memenuhi ketentuan pasal tersebut yang berkenaan dengan kedudukan hukum.
“Andaipun ketentuan tersebut disimpangi, quod non, telah ternyata dalil-dalil pokok permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum,” ujar Arief.
Diketahui, Pasangan calon bupati dan wakil bupati nomor urut 2 Taolin Agustinus-Yulianus Tai Bere selaku Pemohon mendalilkan Vincente Hornai Gonsalves tak memenuhi persyaratan calon kepala daerah yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada). Vicente diketahui sebagai calon wakil bupati nomor urut 1 pernah terlibat kasus tindak pidana melarikan anak di bawah umur pada 2003 dan divonis 11 bulan penjara pada Januari 2004.
Keterangan Prof Yafet Rissy
Yafet Yosafet Wilbel Rissy yang dihadirkan sebagai Ahli Pihak Terkait menjelaskan, kasus tersebut bukanlah tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Atambua Nomor: 186/PID/B/2003/PN.ATB tanggal 17 Januari 2004. Guru Besar Universitas Ilmu Hukum Kristen Satya Wacana (UKSW) itu menyampaikan, Vicente Hornai Gonsalves dikenai Pasal 332 ayat 1 KUHP yang berkaitan dengan melarikan perempuan di bawah umur. Calon wakil bupati nomor urut 1 itu tidaklah dijatuhkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Lanjutnya dari sisi pengaturan Pasal 332 ayat 1 KUHP, melarikan perempuan di bawah umur adalah salah satu jenis tindak pidana perampasan kemerdekaan. Sedangkan tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak seperti pemerkosaan, pencabulan, dan persetubuhan diatur dalam Pasal 287 sampai Pasal 295 KUHP.
“Ahli berpendapat, jika dibandingkan antara Pasal Pasal 332 ayat 1 dengan Pasal 287 sampai Pasal 295, terlihat jelas bahwa tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur tidaklah sama dengan tindak kekerasan seksual terhadap anak. Tindak kekerasan seksual terhadap anak, tindak pidana itu diatur dalam undang-undang tersendiri, yakni dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual,”ujar Yafet.
Sementara dalam keterangannya kepada media ini, Rabu (26/2) menyebutkan bahwa jika dicermati pertimbangan MK, terdapat tiga alasan utama MK menolak permohonan Pemohon;
- Tindak Pidana yang dilakukan Vicente Gonsalves, calon wakil Bupati Belu tidak pernah melakukan tindak pidana kekerasan seksual. Berdasarkan Putusan PN Atambua No.146/Pid.B/PN. ATB 17 Januari 2024, Vicente dinyatakan bersalah karena terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 332 ayat 1 ke 1 KUHP; yakni melarikan perempuan di bawah umur tanpa ijin orang tua atau wali.
- Dengan demikian, Pasal 7 ayat (2) huruf g beserta penjelasannya jo Pasal 42 ayat (2) huruf b angka 2 UU No 10 Tahun 2016 tidak dapat diberlakukan atau tidak relevan untuk kasus Vicente. Alasannya karena selain Vicente tidak melakukan tindak pidana kekerasan seksual juga karena masa jeda 5 tahun bagi Vicente untuk mengumumkan bahwa dia pernah dipidana setelah menjalani penjara sudah melampaui 5 tahun. Sebagaimana diketahui kewajiban mengumumkan kepada publik bahwa seorang calon pernah dipidana hanya berlaku selama 5 tahun setelah selesai menjalani masa penjara. Selepas tahun ke 5, tidak ada kewajiban untuk mengumumkan ke publik. Subtansi pertimbangan ini didasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 tanggal 11 Desember 2019.
Dari pertimbangan MK di atas terlihat jelas bahwa Mahkamah sependapat dengan pandangan Ahli Prof Yafet Rissy yang telah dengan gamblang menyampaikan keterangannya sebagai ahli mewakili Willy Lay dan Vicente Gonzalves selaku Pihak Terkait dalam perkara a quo. Dengan adanya putusan itu, pasangan Willy-Vicente siap dilantik memimpin Kabupaten Belu lima tahun mendatang. (MKRI/BOY)