Oleh: Dahlan Iskan
Jumat 14-06-2024
Dua baliho besar menyambut kedatangan saya dari Amerika. Satu baliho bergambar Jokowi-Prabowo. Ada logo Projo di bagian atas. Lalu ada tulisan ‘Bersama Rakyat’ di bagian bawah.
Satunya lagi: Gambar Khofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak. Tanpa identitas siapa pemasangnya. Tulisan di bagian bawahnya: bersama rakyat Jatim.
Di sepanjang jalan ternyata banyak terlihat baliho yang dipasang Projo seperti itu: berarti baliho itu menyambut Anda juga.
Lama saya mikir: apa maksud baliho Jokowi-Prabowo itu. Ke mana arahnya?
Sampai di rumah pun tidak muncul jawabannya.
Akankah itu pengondisian bahwa Pak Jokowi akan menjadi pimpinan Gerindra? Lalu Gerindra akan jadi partai tengah yang besar?
“Partai Tengah” yang saya maksud adalah partai tengah dalam konteks Indonesia. Bukan partai tengah secara keilmuan politik.
Lebih mudahnya: yang nasionalis religius, atau religius nasionalistik. Tidak harus di tengah benar. Boleh kiri-dalam atau kanan-dalam.
Baliho-baliho besar ProJokowi itu mungkin sebagai langkah satria berkuda juga. Di bidang politik masa kini. Terutama setelah Jokowi berpisah kian jauh dari Megawati.
Pidato Ketua Umum PDI-Perjuangan di rakernas bulan lalu memang menyiratkan kian jauhnya jarak mereka berdua. Jokowi jangan berharap lagi untuk bisa diterima di PDI-Perjuangan seperti dulu-dulu.
Berarti akan ada pertempuran berikutnya: di Pilkada. Terutama di Jatim, Jateng dan DKI.
Maka setidaknya Jokowi-Prabowo itu tidak hanya sekadar beredar di baliho. Mereka juga akan kompak di Pilkada.
Di Jatim, praktis tinggal PDI-Perjuangan yang tidak mencalonkan Khofifah-Emil menjadi gubernur Jatim. Selebihnya sudah bergabung ke Khofifah-Emil.
Maka di Jatim, posisi politik PDI-Perjuangan pun terisisihkan di Pilkada. Harus cari calon sendiri. PDI-Perjuangan bisa maju sendiri tanpa dukungan partai lain. Seperti di Pilpres.
Kalau itu yang akan terjadi maka PDI-Perjuangan hanya akan mencalonkan kadernya sendiri.
Tapi tidak banyak pilihan. Terutama kalau yang dihadapi Khofifah-Emil. Kalau dipaksakan rasanya hanya akan buang banyak uang.
Pun di Jateng. Partai-partai non PDI-Perjuangan sudah gabung ke satu pasangan. Kuat sekali. Siapa? Masyarakat di Jateng sudah tahu: ia mantan Kapolresta Surakarta. Pernah juga menjabat Wakapolda Jateng. Dan sekarang ia masih menjabat Kapolda provinsi itu.
Baru menyebut mantan Kapolresta Surakarta saja sudah bisa ditebak siapa di balik calon gubernur itu.
Ia kini bintang dua polisi. Begitu panjang masa tugasnya di Jateng. Saat jadi Kapolresta Surakarta, Jokowi sudah menjadi Presiden Indonesia. Saat menjabat Wakapolda dan kini Kapolda presidennya masih sama.
Anda pun sudah tahu nama calon gubernur Jateng di luar PDI-Perjuangan itu: Ahmad Lutfi. Ia jenderal polisi bintang dua yang bukan lulusan Akpol. Ia jadi sarjana dulu baru masuk polisi. Lewat Sekolah Inspektur Polisi Sumber Sarjana (SIPSS).
Ahmad Lutfi, Arek Suroboyo, juga punya adik seorang jenderal. Bintang satu. Angkatan Darat. Sekarang menjabat Danrem di daerah kunci juga: Korem Pamungkas –yang membawahi Yogyakarta dan Magelang. Namanya: Zainul Bahar.
Kalau pun di Jateng PDI-Perjuangan akan maju dengan calon kader internalnya, maka pilihannya tinggal dua: Wali Kota Semarang saat ini atau Ketua DPRD Jateng yang sekarang.
Tidak terlalu seru.
Maka apa yang terjadi di Pemilu dan Pilpres yang lalu bisa terulang kembali: kandang banteng akan kembali porak-poranda.
Atau justru akan sebaliknya? Misalnya: semua banteng di Jateng merasa terluka lalu mengamuk habis-habisan?
Di Jabar sudah pasti PDI-Perjuangan tidak bisa banyak bicara. Pun di DKI-Jakarta.
Maka di Pilkada nanti bisa terjadi tsunami politik yang kedua bagi PDI-Perjuangan.
Mungkin situasi seperti itu yang membuat Megawati membakar semangat kader-kadernyi dengan orasinyi yang lantang bulan lalu.
Tapi kenyataan di lapangan tidak cukup diatasi dengan orasi.
(Dahlan Iskan)