Kupang (MEDIATOR)—Selasa (30/8) kemarin, PT Timor Bio Energy, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang Renewable Energy (Energi Baru Terbarukan) khususnya Co-Firing Wood Chip, didatangi oleh sejumlah pejabat teras. Mereka diantaranya Direktur Utama PT Pembangkitan Jawa-Bali (PJB), Gong Matua Hasibuan, didampingi General Manager PT PLN (Persero) Wilayah NTT,P Agus Jatmiko, serta sejumlah pejabat teras yang jumlahnya cukup banyak.
Tim kecil ini disambut Chief Executive Officer (CEO) PT Timor Bio Energy, Yusak Victor Benu. Untuk diketahui bahwa pabrik ini bergerak di Co-Firing Wood Chip, yakni energi baru terbarukan berbahan dasar Chip Kayu yang menggantikan batu bara di PLTU.
“Pabrik ini diresmikan oleh Ketum Kadin Indonesia, Arsjad Rasjid belum lama ini dan kita bergerak di Co-Firing Wood Chip dengan jenis kayu yang diolah yakni kedondong hutan, kayu lamtoro, dan kaliandra. Kayu-kayu ini banyak terdapat di Kota Kupang dan sekitarnya serta memiliki kalor yang sama dengan batu bara,”ujar Yusak di Kupang, kepada Mediatorkupang.com.
Dalam pertemuan itu, Dirut PT PJB, Gong Matua Hasibuan menyambut terobosan bisnis dari PT Timor Bio Energi yang sudah menghadirkan sumber baru energi pembangkit pengganti bahan bakar fosil. Dan menurutnya, ini adalah mimpi besar PLN wilayah NTT dimana terwujudnya penggunaan 100 persen energi baru terbarukan di PLTU Timor.
Rupanya Yusak pun tak mau main-main dengan investasi ini. Pihaknya sudah memesan tiga mesin berkapasitas besar yang nantinya akan dipakai 24 jam pada pabrik mereka di Bolok.
Lebih jauh menurutnya, PT Timor Bio Energy memilih fokus ke EBT karena seiring perkembangan, energi yang bersumber dari batu bara dan juga bahan bakar fosil sudah mulai berkurang. Dan pihaknya adalah perusahaan swasta pertama di NTT memilih jalur bisnis ini. Untuk diketahui bahwa saat dikunjungi Dirut PT PJB dan pejabat teras PLN, dia sudah menjelaskan bahwa NTT memiliki ketersediaan bahan baku yang cukup banyak sehingga patut diandalkan.
Apalagi, dalam menggarap potensi tersebut, pihaknya menggandeng masyarakat adat sebagai pemilik kayu dan juga lembaga lainnya. Tidak hanya itu, melainkan pemerintah desa melalui Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) pun meraka jajaki kerjasama. Sehingga perputaran uang terjadi di desa.
“Skemanya sederhana, yakni papanya naik untuk memotong dahan, ibu dan anaknya mengumpulkan dan menjualnya ke kita. Kami melarang untuk pemotongan terhadap batang, karena pertimbangannya demi regenerasi dan juga menjaga keseimbangan dalam lingkungan. Yang dipangkas adalah ranting karena memang kita butuh kayu yang berdiameter 20 Cm, sehingga sangat memungkinkan. Kami tidak menerima kayu besar, karena pisau potong kita khusus untuk diameter 20 Cm saja,”tegas Yusak menambahkan pihaknya bergerak atas riset lembaga pendidikan, Undana berhasil meneliti NTT kaya akan kayu penghasil energi.
Pihaknya optimis jika kedepan mereka takkan berkekurangan bahan bakar kayu, karena selalu ada regenerasi. Dia mencontohkan, dengan diameter yang dibutuhkan 20 Cm maka setidaknya butuh waktu enam bulan tunas baru yang muncul akan tumbuh menuju diameter yang ditetapkan, sehingga didukung dengan penanaman kembali, maka akan ada stabilitas bahan baku.
Yusak merinci, dari skema kerjasama tersebut, setiap bulan seorang petani mendapat hasil dari menjual kayu sebesar Rp 3-4 juta. Dan ini berlangsung terus menerus, serta tidak mengganggu pekerjaan tetap mereka sebagai petani, karena aktifitas pemotongan kayu dilakukan di waktu senjang. (BOY)