Lainnya

BEKERJA DAN MENGERJAKAN KEMBALI

129
×

BEKERJA DAN MENGERJAKAN KEMBALI

Sebarkan artikel ini

Renungan : Pdt Jahja A. Millu

Yeremia 18:1-12

“Lalu pergilah aku ke rumah tukang periuk, dan kebetulan ia sedang bekerja dengan pelarikan. Apabila bejana, yang sedang dibuatnya dari tanah liat di tangannya itu, rusak, maka tukang periuk itu mengerjakannya kembali menjadi bejana lain menurut apa yang baik pada pemandangannya” (ayat 3-4)

Pdt Jahja A. Millu

Alkitab menyaksikan bahwa Tuhan tidak pernah bosan mendidik umat-Nya, sekalipun mereka selalu membangkang. Tuhan sendiri menyadari bahwa pendidikan bagi umat-Nya bukanlah sebuah proses sekali jadi, apalagi asal jadi. Itu sebabnya Tuhan sendiri menempuh berbagai cara dan metode, baik berupa nasehat, perintah, pengajaran, bahkan hukuman sekalipun. Cara dan metode Tuhan itu demikian kaya, bahkan saking kayanya sehingga kita hampir tidak menemukan pengulangan. Setiap situasi dengan metode dan pendekatannya sendiri. Kita selalu akan menemukan kebaruan dari berbagai pendekatan yang digunakan Tuhan tersebut, “selalu baru tiap pagi.”

Salah satu metode yang diperintahkan kepada Yeremia adalah dengan belajar dari pekerjaan tukang periuk. Tuhan ingin agar Yeremia belajar dua hal penting yang nampak dalam kutipan ayat di atas, yakni “bekerja” dan “mengerjakan kembali”. Ketika membentuk tanah liat menjadi bejana, tukang periuk bekerja menurut prosedur yang biasa ia lakukan. Namun sedetail apapun prosedur itu diikuti, ada kemungkinan terjadi kerusakan. Tukang periuk akan mengerjakannya kembali untuk membentuk bejana baru, baik menurut kehendak awalnya, maupun untuk membentuk bejana lain. BIla semula ia hendak membuat tembikar, bisa jadi ia kembali membuat tembikar, atau mungkin piring. Tuhan ingin agar nabi Yeremia mendalami proses ini sebagai bahan pendidikan bagi umat-Nya.

Orangtua dan guru yang mendidik anak menyadari bahwa tidak ada “hasil simsalabim.” Proses membentuk mereka menjadi bejana yang berharga berulangkali terancam kerusakan. Sudah banyak orangtua yang berlinang airmata menyaksikan anak-anaknya mengalami kehancuran. Tidak sedikit pula guru yang meneteskan air mata sebab anak didiknya gagal dalam proses pendidikan. Para pelayan pun selalu tersungkur dalam isak tangis manakala bangku gereja kosong, atau jemaatnya berpindah agama, atau meninggalkan imannya. Diperlukan kesiapan para pelayan, orangtua dan guru untuk mengalami resiko kerusakan ini.

Namun kita tidak boleh kehilangan pengharapan sebab masih tersedia proses “mengerjakan kembali.” Proses ini memungkinkan pengerjaan kembali bejana yang rusak menjadi bejana yang berharga. Bejana yang rusak bukanlah kata akhir. Kemungkinan menjadi bejana berharga terbuka lebar. Dan tukang periuk tidak pernah menyerah terhadap setiap potensi dan fakta kerusakan. Ia dengan telaten akan mengerjakannya kembali, kembali dan kembali, sampai ia menemukan cara untuk menjadikannya bejana yang berharga. Entah berapa kali tanah liat itu dibentuk kembali, tetapi tukang periuk akan terus melakukannya. Fokusnya bukan pada kerusakan, tapi pada hasil yang hendak dicapai.

Demikianlah setiap orangtua akan rela “bekerja” dan “mengerjakan kembali” proses pendidikan anak-anaknya sebab mereka mengingingkan kebaikan dalam hidupnya. Seringkali kita mendengar keluhan orangtua: “Saya sudah menasihatinya seribu kali, namun ia tidak berubah.” Ini adalah contoh keluhan yang salah. Melalui proses “mengerjakan kembali”, Allah ingin kita menasihati anak-anak kita tanpa batas waktu, hingga pengerjaan kembali itu menghasilkan bejana yang indah. Tidak ada kata gagal. Yang ada ialah suatu proses yang berulang tanpa henti, disertai iman dan doa, hingga memperoleh hasil yang baik. Para orangtua tidak bekerja sendiri. Allah ingin terlibat dalam proses ini sehingga anak-anak kita dapat menjadi bejana yang berharga. *** (*Pendeta senior pada MS GMIT)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *