MEDIATORSTAR.COM, Kupang
Sebentar lagi akhir tahun, dan mometum ini identik dengan pencairan dana proyek pada instansi-instansi pemerintahan. Baik kabupaten/kota, provinsi maupun rekanan yang mengerjakan proyek kementerian. Sudah menjadi tradisi, balas jasa kerab diberikan dalam bentuk komisi atau fee proyek kepada pihak-pihak yang selama ini disinyalir berkontribusi pada kelancaran sebuah kegiatan.
Terkait fenomena ini, Ombudsman Republik Indonesia Kantor Perwakilan NTT mengeluarkan pernyataan tegas. Kepala kantor Ombudsman NTT, Darius Beda Daton, dalam seruannya yang disebar ke berbagai media sosial maupun WA Group menekankan tentang fenomena ini.
“Sekedar mengingatkan kembali bahwa mungkin banyak diantara kita belum tahu bahwa penerimaan komisi atau fee dari pengadaan barang dan jasa instansi pemerintah adalah salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan mesti tercatat sebagai lain-lain PAD yang sah,”tulis Darius.
Pernyataannya mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Pasal 31 ayat (4) huruf h Peraturan Pemerintah ini menyatakan; “Lain-lain Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sah adalah penerimaan komisi, potongan, atau bentuk lain sebagai akibat penjualan, tukar menukar, hibah, asuransi, dan atau pengadaan barang dan jasa termasuk penerimaan atau penerimaan lain sebagai akibat penyimpanan uang pada bank, penerimaan dari hasil pemanfaatan barang daerah atau dari kegiatan lainnya”.
Lalu seperti apa kondisinya di Provinsi NTT? Menurut Darius, jika dalam APBD kita di NTT selama ini telah tercatat pendapatan dari sumber komisi atau fee semua proyek yang telah dilaksanakan maka hal tersebut telah sejalan dengan peraturan pemerintah ini. Namun jika belum atau tidak tercatat, maka ada dua kemungkinan yang terjadi yaitu pertama; tidak pernah ada fee/komisi pelaksanaan proyek-proyek di NTT selama ini. Kedua; atau ada kemungkinan lain, fee/komisi tersebut diberikan namun tidak disetor sebagai pendapatan daerah alias masuk ke kantong-kantong pribadi.
“Ini urusan yang wajib kita benahi di daerah sebab soal komitmen fee atau komisi proyek adalah salah satu dimensi korupsi yang paling banyak terjadi di Indonesia. Setidaknya data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berikut ini menunjukkan demikian. Sejak tahun 2004 – 2020, KPK telah menangani 1.075 perkara korupsi. Sebanyak 224 kasus diantaranya adalah terkait pengadaan barang dan jasa serta 708 kasus adalah terkait soal suap. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pengadaan barang jasa berkaitan erat dengan komitmen fee yang disepakati bersama dan jika sedang apes, penyerahaan fee tersebut bisa berujung penyuapan (bribery),”tegas Darius yang opern ah menjadi aktivis anti korupsi itu.
Pihaknya mensinyalir, ujung tombak atau inisiator untuk memuluskan fee ini biasanya datang dari pelaksana proyek/pengusaha, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pengguna Anggaran (PA) atau Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau bisa juga langsung diambil alih oleh kepala daerah. “Hal ini terkonfirmasi setelah beberapa kepala daerah tertangkap tangan dengan tuduhan penyuapan. Mari berikthiar agar NTT terus diurus dengan prinsip-prinsip tata kelolah pemerintahan yang baik demi kesejahteraan warga,”pungkas sosok yang suka menyanyi dan memiliki banyak pengikut di media sosial ini. (MSC01)