Oleh: Dahlan Iskan
Senin 16-09-2024
KEHIDUPAN itu kompleks. Pikiran manusia itu sederhana. Terbatas pula. Itulah sebabnya para dosen harusnya mampu mengajak mahasiswa untuk terbiasa melakukan shifting paradigma.
Yang mengatakan itu bukan anak Pak Iskan. Saya hanya menyimpulkan hasil pembicaraan panjang saya dengan ilmuwan Indonesia yang menciptakan nano bubble.
Namanya: Prof Dr Sutiman Bambang Sumitro SU DCS.
Prof Sutiman baru saja pensiun sebagai guru besar FMIPA Universitas Brawijaya Malang. Ia pernah jadi dekan di sana. Dua periode. Ia sudah membimbing 70 orang doktor baru di berbagai bidang ilmu.
Nano bubble diciptakan untuk menjaga kebugaran badan. Kebugaran adalah salah satu kunci untuk sehat.
Tubuh terdiri dari sel. Triliunan jumlahnya. Tiap sel memerlukan oksigen. Jumlah oksigen yang dipasok ke sel tergantung ketersediaan oksigen di udara. Juga tergantung pada kemampuan paru.
Dari paru dibawa oleh butir darah merah menuju sel. Lewat saluran darah. Besar sampai micro. Ujung tombaknya saluran darah cabang terkecil.
Prof Sutiman menginginkan pengiriman oksigen itu tanpa melewati jalur logistik seperti itu. Langsung masuk ke sel. Tidak tergantung pada kualitas saluran darah.
Seberapa kecil ukuran gelembung udara yang dikirim Sutiman ke sel tersebut? “Besarnya 80 nanometer,” ujar Prof Sutiman. Tidak terlihat. Saking kecilnya.
Bukankah sifat gelembung akan selalu naik? Bagaimana bisa dikendalikan untuk masuk sel?
“Ukurannya kan nano. Tidak lagi terikat hukum Newton,” ujar dokter Tirta yang menjadi tim inti Prof Sutiman.
Dokter Tirta orang Malang. Ahli bedah. Sudah pensiun dari dinas militer dengan pangkat kolonel. Ia ketua salah satu yayasan masyarakat Tionghoa di Malang.
“Dokter selalu berorientasi ke organ. Prof Sutiman berorientasi ke sel,” ujar dokter Tirta.
Cita-cita awal Sutiman sebenarnya jadi dokter. Waktu test masuk Universitas Gadjah Mada tidak lulus. Ia diterima di jurusan biologi. Sampai akhirnya jatuh cinta ke ilmu itu. Ia pun mendalami biologi molekuler.
Sutiman orang Yogyakarta. Ia lulusan SMAN 1 yang di sana disebut sebagai SMA Teladan.
Setelah menjadi dosen di UB, Sutiman mendapat beasiswa ke Jepang. Ke Nagoya University. Lanjut lagi ke Mie University. Di provinsi Mie. Antara Nagoya dan Osaka.
Jadilah Sutiman ahli biologi sel. Istimewa. Diakui dunia. Dipercaya mengajar bidang itu di mana-mana. Termasuk di Jepang.
Sutiman pun memiliki delapan paten internasional. Salah satunya nano bubble itu.
Hubungannya yang luas dengan ilmuwan Jepang membuat Sutiman tahu: sudah ada mesin pembuat bubble. Tapi ia ingin membuat bubble yang ukuran nano.
Ia pun melakukan penelitian mendalam. Berhasil. Dengan tekanan 30 BAR gelembung ukuran nano bisa tercipta.
Nano bubble itulah yang kemudian diinfuskan ke tubuh. Selama tiga tahun terakhir sudah 13.000 orang yang menjalani infus nano bubble made in Sutiman.
Bagi orang yang sudah tua dianjurkan menjalaninya seminggu tiga kali. Sebanyak 10 kali. Juga bagi orang yang ingin menyembuhkan sakit lewat membugarkan tubuh.
Setelah itu bisa seminggu sekali. Lalu sesekali. Paket 10 kali infus itu hanya Rp 10 juta.
Prof Sutiman sudah pensiun sebagai guru besar. Tapi ia tidak bisa pensiun dari ilmuwan. Peneliti. Pembina. Pengajar. Pengabdi bidang sosial. Terakhir Prof Sutiman masih mendirikan lembaga molekul Indonesia.
Hidup itu kompleks. Tidak linier. Problem kehidupan tidak bisa diselesaikan oleh cara berpikir linier. (Dahlan Iskan)
https://disway.id/read/821774/nano-sutiman